tag:blogger.com,1999:blog-28841307844346589072024-03-20T12:40:27.528-07:00menjaras akar ilmumenjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.comBlogger13125tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-34167237672796490902008-09-29T02:56:00.000-07:002008-09-29T02:59:06.364-07:00CINTA ATAS PERAHU CADIK<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU0wiZoE9ss45CCT_6ndPp-vQJ3hp0QJN0TDDs3wZ2myLMNb5BlMAqulMH02lUqK_arsE34B4uMHCfkacoIv6EHgdth8wdoajFNOas3dfFLO5rKeIUVHBwBjZM-uUA6_b1ddL_QaLUIbo/s1600-h/wall+13.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU0wiZoE9ss45CCT_6ndPp-vQJ3hp0QJN0TDDs3wZ2myLMNb5BlMAqulMH02lUqK_arsE34B4uMHCfkacoIv6EHgdth8wdoajFNOas3dfFLO5rKeIUVHBwBjZM-uUA6_b1ddL_QaLUIbo/s320/wall+13.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5251380504009963186" border="0" /></a><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-family:times new roman;">Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.</span> </span><p class="MsoNormal" style="font-family:times new roman;"><span style="font-size:130%;"><span style="" lang="MS"><br />Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?<br /><br />Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.<br /><br />"Sukab! Tunggu aku!"<br /><br />Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.<br /><br />"Cepatlah!" ujar lelaki bernama Sukab itu.<br /><br />Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.<br /><br />"Hayati! Mau ke mana?"<br /><br />Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.<br /><br />Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk.<br /><br />"Ke mana Hayati, Mak?"<br /><br />Nenek tua itu menoleh dengan kesal.<br /><br />"Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!"<br /><br />Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.<br /><br />"Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya."<br /><br />Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.<br /><br />"Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!"<br /><br />Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.<br /><br />"Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!"<br /><br />Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya.<br /><br />Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.<br /><br />Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.<br /><br />"Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa."<br /><br />"Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia."<br /><br />"Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya."<br /><br />Nenek itu memaki.<br /><br />"Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!"<br /><br />Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.<br /><br />"Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?"<br /><br />"Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?"<br /><br />Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal sendirian.<br /><br />"Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!"<br /><br />Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria.<br /><br />"Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?"<br /><br />Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.<br /><br />Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah bertahun-tahun lewat.<br /><br />Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena pintu dibuka.<br /><br />Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.<br /><br />"Mana Bapakmu?"<br /><br />Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas.<br /><br />Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.<br /><br />"Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!"<br /><br />Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.<br /><br />Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.<br /><br />"Aku sudah tahu?"<br /><br />"Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?"<br /><br />"Tentang mereka?"<br /><br />Nenek itu mendengus.<br /><br />"Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?"<br /><br />Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi.<br /><br />"Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!"<br /><br />Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara.<br /><br />"Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat?dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan."<br /><br />Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.<br /><br />Nenek tua itu terdiam.<br /><br />Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.<br /><br />"Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita," kata seseorang.<br /><br />"Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita," sahut yang lain, "apalagi jika di perahunya ada Hayati."<br /><br />"Apakah mereka bercinta di atas perahu?"<br /><br />"Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka."<br /><br />Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka alami.<br /><br />Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.<br /><br />"Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta?"<br /><br />***<br /><br />Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang berdarah?tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis.<br /><br />Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali?tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.<br /><br />Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.<o:p></o:p></span></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-84369106647300552852008-09-29T02:45:00.000-07:002008-09-29T02:55:29.485-07:00LAMPU IBU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9KzFr7HC_miQBRHKCZkTF20-9152RMGazaup2X8aJoisRMpKvQGm2kg0F4khkAdL_OZKrzO2LcuPqmx9Z-4NEhpffXpSRTLyzNLBO0DX8HUoG-l_4O3PjNvj64Sy9NyXuVkP_PfOSBuY/s1600-h/tenang+16.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9KzFr7HC_miQBRHKCZkTF20-9152RMGazaup2X8aJoisRMpKvQGm2kg0F4khkAdL_OZKrzO2LcuPqmx9Z-4NEhpffXpSRTLyzNLBO0DX8HUoG-l_4O3PjNvj64Sy9NyXuVkP_PfOSBuY/s320/tenang+16.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5251379159734218626" border="0" /></a><span style="" lang="MS">Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.<o:p></o:p></span> <p><span style="" lang="MS">"Antar aku dulu menengok abangmu," ujar beliau saat kujemput di SoekarnoHatta. "Besok-besok aku menginap di rumah si Nina." Ia selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan memanggil anak-anak kami "cucuku". "Nina dan cucu-cucuku sehat?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Sehat," kubilang. "Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore kuantar?."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Tak penat aku!" tukasnya keheng, keras kepala. "Terus sajalah."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat? Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau; melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baik-baik, mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempo-tempo, jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam masalah.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut, seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon. Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak, cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam....<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur. Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Libur kau, Man?" tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja ke mana-mana.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Ia tergeragap. "Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Kuliahmu lancar?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Lancar." Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat. Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. "Sudah dua hari tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?" tanya beliau suatu pagi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Naik gunung," jawab Kak Leila. "Diajak kawan-kawannya."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Ala, tak apa-apa Bunda," adikku Rosa menyahut. Maksudnya membantu Kak Leila. "Biasa itu, anak laki-laki."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?" ujar bunda.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu memanggilnya, berucap lunak, "Elok-elok kau jalani umur muda Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat pula, serupa mayat!" Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman bermalam di kantor polisi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi Grogol. Lalu Slipi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Kurang dingin AC-nya Bunda?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Cukup." Dan diam lagi, memandang jalanan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi, dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia ucapkan?<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Bagaimana abangmu sekarang?" Bunda melepas pandang dari jalanan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Baik saja. Tak apa-apa," kubilang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?" suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. "Apa maksudmu?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Maksudku, o, pulang dari rumah sakit." Tiba-tiba aku jadi gugup. Dan bunda menyergap pula, "Sudah pulang abangmu dari rumah sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban. Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. "Sudah, sudah," kubilang. "Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja." Kusodorkan HP ke bunda. "Nina, Bunda. Mau bicara." Mudah-mudahan lama, tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Lalu, suara bunda: "Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucu-cucuku? Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian itu dulu?."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Apa kata Nina, Bunda?" Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu berakhir.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Biasalah," ia bilang. "Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar istrimu."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Nina manajer pemasaran, Bunda."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga. Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan, karena bunda lantas bertanya, "Mengapa kau ketawa?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Tentu punya waktu," kataku. "Buktinya aku kini tak ke mana-mana, Bunda."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Bukan hanya karena hendak menjemputku?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku menggeleng. "Syukurlah," ujarnya. "Aku cuma khawatir. Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia alami seperti keponakanmu, Aida."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut. Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta. Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat semua orang sibuk kasak-kusuk. "Jangan kalian berahasia lagi. Ceritakan apa yang terjadi!" katanya meradang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda tetap bertaut. "Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!" ujarnya keras. "Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu nasibnya!"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak ketahuan rimbanya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi. "Sudah sampai belum?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Sudah, sudah."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?" tanyanya antusias.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Belum tahu. Aku di kakus, kencing."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Dasar!"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak diam. Nanti saja aku kabari."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan. "Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda," dia bilang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Tidak sesederhana itu, Bunda."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Di mana rumitnya?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. "Aku punya atasan, Bunda," ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. "Aku punya kawan. Aku juga kader partai.?"<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam," sahut bunda kemudian. "Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja, dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">"Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu." Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku. "Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="MS">Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelap-kelip mercu suar di malam gulita penuh badai.***<o:p></o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-78468879103928426932008-09-28T16:23:00.000-07:002008-09-28T16:28:55.190-07:00PEREMPUAN DARI KOTA SYURGAWI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTV4MHOaBb9WcjLe_vNQDRr-oARnftIARhMpI4Di8_pcZZz4XBWUcRr1B1T4t-gd4ePYPr3jfHomJAhuq1LY5lIlWWFoBWamg1dkOHKxy-ze0K8ER6mHN1WuTzVK4fjjFdrg0xron1XJg/s1600-h/duka+16.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTV4MHOaBb9WcjLe_vNQDRr-oARnftIARhMpI4Di8_pcZZz4XBWUcRr1B1T4t-gd4ePYPr3jfHomJAhuq1LY5lIlWWFoBWamg1dkOHKxy-ze0K8ER6mHN1WuTzVK4fjjFdrg0xron1XJg/s320/duka+16.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5251217854056637314" border="0" /></a><br /><b><span style="line-height: 200%;" lang="MK">PEREMPUAN 1<o:p></o:p></span></b> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Debu-debu yang beterbangan dari tanah Khaibar bukan boleh menyurutkan tekadku untuk menumbangkan<span style=""> </span>musyrikin.<span style=""> </span>Tajam panah serta pintar pemain pedang musuh, sebenarnya sesuatu yang tidak baru dan tidak menarik lagi<span style=""> </span>bagiku dan aku tidak gentar dengan petah pantas permainan itu.<span style=""> </span>Telah banyak aku memasuki medan pertempuran dan aku melihat dengan mata hatiku bahawa kemenangan di bahu kananku dan bukan ketewasan.<span style=""> </span>Dan aku yakin saungguh-sungguh.<span style=""> </span>Kali ini juga aku akan menang kerana tanah Khaibar sebenarnya untuk ku.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Akan ku tentang musyrikin kalau pun tidak dengan panah dan pedang mungkin dengan batu tetapi batu yang terbaik dari Bukit Uhud.<span style=""> </span>Aku akan pancung musuh kalau pun tidak dengan pedangku mungkin dengan dengan pedang milik Tariq Bin Ziyad.<span style=""> </span>Akan aku panah musyrikin kalau bukan dengan panah dari suamiku, aku akan gunakan panah kepunyaan<span style=""> </span>Saad Bin Ubaid.<span style=""> </span>Kalau tidak ada panah kepunyaan Saad Bin Ubaid akan aku gunakan pedang milik Abdullah Bin Rawahah.<span style=""> </span>Kalau pedang milik Panglima yang gagah itu juga tidak ada, aku akan gunakan pedang milik Saidina Hamzah.<span style=""> </span>Biar musyrikin tahu.<span style=""> </span>Islam gah bukan kerana seorang pahlawan.<span style=""> </span>Serikandi mereka sebenarnya ramai dan aku antara srikandi itu yang akan memancung kepala musyrikin seorang demi seorang.<span style=""> </span>Gemilang pahlawan Islam itu sentiasa hidup di dalam hatiku.<span style=""> </span>Cemerlang mereka menjadikan aku bersemangat untuk turun ke tanah Khaibar.<span style=""> </span>Telah lama aku iqrakan di dalam hati.<span style=""> </span>Tanah Khaibar tetap milik ku walapu apa pun yang terjadi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kau tak takut dengan musuh?” soal sahabat.<span style=""> </span>Ada peluh di dahinya ketika debu-debu beterbangan memenuhi mukanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tidak!” jawab perempuan dari tanah Khaibar.<span style=""> </span>Ada juga peluh bergantungan di dagunya.</span><span style="line-height: 200%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Mereka pemanah yang tepat.<span style=""> </span>Apa lagi pantas bermain pedang,” sambung sahabat lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Manusia tetap dengan kekurangan dan kelemahannya.<span style=""> </span>Akan aku gunakan peluang tu untuk jadikan kemenangan tu miliku,” sambung perempuan dari tanah Khaibar itu lagi.<span style=""> </span>Dia memegang hulu pedang kemas-kemas sepertimana dia memegang kepala musuh yang bakal dipancungnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Panah...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Akan ku himpun panah musuh.<span style=""> </span>Aku akan patah-patahkan panah mereka kemudian aku akan sumbat panah tersebut ke bawah dapur buat memasak gandum bagi dihidangkan kepada suamiku dan pahlawan yang hebat di medan peperangan,” kata perempuan dari tanah Khaibar itu lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat diam cuma.<span style=""> </span>Sambil mengacip bibirnya dia melepaskan keluhan kecil.<span style=""> </span>Sesekali dia merenung pedang yang tersisip di pinggang perempuan yang memiliki kemahiran memanah serta ilmu kejururawatan itu.<span style=""> </span>Langit jernih jilah walapun sesekali ada debu beterbangan melintas muka mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ambillah ini.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kurma?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kurma ni dibagikan kepada setiap pahlawan Islam.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tapi...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Makanlah.<span style=""> </span>Ada barakah di dalam kurma ni.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Perempuan dari tanah Khaibar mengeluh.<span style=""> </span>Peluh yang bergantungan di dagunya gugur ke dalam debu dan batu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Iqralah dalam hati bahawa perjuangan penuh tertib dan sopan ni sebenarnya milik Islam dan bukan milik agama lain,” sambung sahabat lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Perempuan dari tanah Khaibar menelan liurnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Setiap pahlawan memakan kurma ni,” sahabat membiarkan peluh bergantung di dagunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Perempuan dari tanah Khaibar tersenyum.<span style=""> </span>Ternyata ungkapan dari sahabat yang terluka di bahu adalah sesuatu yang benar dan jujur.<span style=""> </span>Tanpa berlengah dia memakan buah kurma tersebut.<span style=""> </span>Saat dia menikmati isi kurma itulah ada panah-panah jauh yang datang dan mencucuk batu serta tanah-tanah di kawasan rehatnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Tanpa berlengah perempuan dari tanah Khaibar dan sahabat memancas panah-panah tersebut dengan kemahiran pedang mereka dan sahabat akhirnya terkena tusukan panah di dada.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Tidakkkk!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Ada airmata gugur di tanah Khaibar.<span style=""> </span>Ya Allah.<span style=""> </span>Batu-batu di Bukit Uhud akan aku jadikan peluru buat menamatkan langkahan musyrikin.<span style=""> </span>Allah Hu akbar.<span style=""> </span>Ummu Ziyad Al-Asyja’yah!<span style=""> </span>Nama mu hidup dalam nur Islam kerana cekal hatimu seperti batu-batu di Bukit Uhud.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><b><span style="line-height: 200%;" lang="MK">Perempuan 2.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Karbala! Satu lagi medan menguji kukuhnya hati wanita syurgawi.<span style=""> </span>Debu dan rimbun ribut pasir sebenarnya ujian yang harus ditempuhi dengan nyawa dan airmata. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kesatlah airmatamu wahai anakku,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ayah...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kepergianku daripadamu terlalu panjang,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tapi...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Simpanlah sedikit airmatamu untuk hari esok kerana hari esok itu tidak jauh.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Perempuan yang pandai bersyair dan hebat di dalam bidang sastera itu mendiamkan diri sejenak.<span style=""> </span>Di renung jauh ke dalam mata ayahnya yang ditabiri peluh perjuangan dan rembesan airmata.<span style=""> </span>Terpamur keikhlasan hati seorang pejuang yang pantas bermain pedang dan hebat menunggang kuda sambil memanah.<span style=""> </span>Terpantul keikhlasannya untuk menewasakan musuh kerana dia tahu.<span style=""> </span>Karbala adalah sebuah laman yang sepatutnya berada didalam genggaman Islam.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span style="line-height: 200%;" lang="MK">“Kau tak gentar dengan tajam mata pedang musuh?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tidak!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kau ingat dengan syairmu akan dapat menewaskan musuh?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kalau ALLAH qadakan permintaanku, InsyaALLAH.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kau lihat gugurnya ayahmu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kau tak gentar untuk hadapi mereka?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Yang aku gentar adalah ketidaksempurnaan janjiku terhadap ALLAH.”<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat hanya mendiamkan diri.<span style=""> </span>Di renung jauh ke dalam wajah sahabat bermata pahlawan dan penyair itu.<span style=""> </span>Biarpun ada kesedihan<span style=""> </span>dan kristal duka di wajah itu namun sahabat yakin.<span style=""> </span>Satu waktu kemenangan tetap berada di pihak Islam.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Akan aku jadikan guguran itu satu wadah perjuanganku,” janji penyair. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat diam.<span style=""> </span>Diperhatikan panah yang berada di tangannya.<span style=""> </span>Ternyata ada darah di panah tersebut.<span style=""> </span>Barangkali darahnya yang menitis menimpa bilah-bilah panah yang tajam meruncing di dalam genggaman tangannya atau barangkali juga panah itu dikutip dimedan pertempuran.<span style=""> </span>Mungkin juga panah itu kepunyaan kaum musyrikin yang telah menebuk badan atau bahu teman seperjuangannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><i><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Ayahndaaaa!<span style=""> </span>Sesungguhnya orang yang seperti cahaya, yang menerangi segala-gala, telah terbunuh di Karbala, dan tubuhnya tidak dikuburkan, dahulu engkau laksana gunung, yang aku berlindung kepadanya, dan engkau dampingi kami, sebagai keluarga dan dalam agama, siapa lagilah yang mengambil berat, kepada anak-anak yatim dan para peminta, siapa lagilah, yang mengayakan tempat berlindung, si orang miskin yang tidak berdaya.</span></i><span style="line-height: 200%;" lang="MK"> <i><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sukainah Al Husin!<span style=""> </span>Sastera dan sayu syairmu rimbun dalam dada pejuang Islam yang syahid di Karbala.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><b><span style="line-height: 200%;"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoBodyText"><b><span style="line-height: 200%;" lang="MK">PEREMPUAN 3<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kalau dapat ku himpunkan kesemua airmata ni, akan ku berikan airmata ni padamu suamiku buat menghilangkan dahaga.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Apa lagi yang mampu suami berikan buat membalas tutur baik daripada isteri yang tertambat dengan rantai besi di tengah saujana padang luas berhangatkan cahaya matahari dan batu bukit selain dari jutaan kesyukuran.<span style=""> </span>Apa lagi yang upaya isteri nyatakan selain dari itulah ungkapannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Bila sudah tertawan oleh musuh, bukan mudah untuk melepaskannya walaupun musuh itu pada satu ketika adalah sahabat baik<span style=""> </span>kita sendiri.<span style=""> </span>Itulah dunia.<span style=""> </span>Kalau hidup bertumpangkan nafsu, akhirnya benda yang baik jadi keliru.<span style=""> </span>Kalau hidup ditumpangi kejahatan dan iri hati, akhirnya menjadi duri menikam diri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tuhan!<span style=""> </span>Tolonglah hambamu ni,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Sabarlah suamiku,”katanya perlahan penuh simpati dan nestapa. “Aku juga sepertimu.<span style=""> </span>Dirantai dan mungkin juga dibunuh kejam oleh musuh yang pernah jadi sahabat kita.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ohhh!”nada kesal tercetus di bibir suami ketika rantai besi menjadi makin panas dibakar cahaya matahari tinggi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Tanpa sebarang perteduhan cuma sesekali ada awan mendung yang melindungi tubuh mereka dilangit jauh, siksaan demi siksaan terus diterima tanpa sedikit ihsan.<span style=""> </span>Barangkali itulah manusia jalang berhati setan yang bencikan Islam.<span style=""> </span>Barangkali itulah rupa lelaki yang bakal dibunuh oleh tentera Islam satu ketika nanati.<span style=""> </span>Apakah dengan penyiksaan ini akan berkahir Islam di bumi Illahi ini?<span style=""> </span>Atau penganutnya akan bertempiaran lari kerana takutkan penyiksaan ini?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Tidak!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Siksaan ni hanya akan melukai tubuhku tetapi tidak melukai iman dan tekadkuuu!” ujar si isteri berhati perkasa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Apa?” marah si tukang penyiksa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Bola besi dengan baju besi ni tidak akan memurtadkan kami!” tambah si isteri yang berjiwa wira.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Makin marah tukang penyiksaan.<span style=""> </span>Dengan matanya berbolakan api dia terus menyiksa. Namun si isteri hatinya kukuh melebihi hati suami.<span style=""> </span>Dia tidak menyebut perkataan lain selain dari ALLAH HU AKBAR!<span style=""> </span>Dia tidak mahu pesongkan aqidahnya dengan penyiksaan ini.<span style=""> </span>Barangkali dia di jemput maut kalau dilihat dari penyiksaan yang dilakukan oleh bekas sahabatnya itu.<span style=""> </span> <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Namun dia redha.<span style=""> </span>Keredhaan itu kerana dia tahu.<span style=""> </span>Islam itu agung.<span style=""> </span>Islam itu indah dan sempurna.<span style=""> </span>Islam bukan agama keganasan.<span style=""> </span>Yang ganas itu bukannya Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kembaliah kau pada kami dan penyiksaan ini akan berakhiR!” itu yang dikatakan oleh tukang penyiksa.<span style=""> </span>Mukanya merah padam seolah-olah sedang memakan api.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tidak!” jawab si isteri sambil menggemgagam tangan suami.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kau akan jadi seperti burung-burung yang dipanah tu,” tukang penyiksa membuat bandingan. “Kau akan ditinggalakan begitu sahaja tanpa apa-apa<span style=""> </span>kecuali dimakan ulat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Satu hari nanti kejahatanmu akan terbalas!” sanggah perempuan berhati wira.<span style=""> </span>Ada darah di lengannya dan kulit betisnya bergelupas.<span style=""> </span>Mungkin daging betisnya telah masak kerana baju besi dan bola besi. “Kejahatanmu akan tambah takwa akuuu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Nah!”tukang penyiksaan memukul si isteri dengan bola besi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Allah hu akbar!” itu yang diungkapkan dibibir si isteri cekal berhati waja.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Cukuplah dengan penyiksaan terhadap keluarga kami,” ujar si suami penuh nestapa dan ngilu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tidak!” sanggah si tukang penyiksa.<span style=""> </span>Diangkat tinggi bola besi kemudian di pukul kuat di betis suami.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ya Allah!”ungkapan itulah yang kekal di dalam hati dan diri si suami berhati perkasa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Nah!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“kan aku dah cakap!<span style=""> </span>Penyiksaan ini akan<span style=""> </span>tambah imanku!” tukas si isteri lambat-lambat sambil kedua belah telapak tangannya merasal batu-batu yang berada di bawah dadanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Tukang penyiksaan tersenyum.<span style=""> </span>Tombak diangkat tinggi dan akhirnya dibenamkan di dada isteri setia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sumayyah!<span style=""> </span>Kaulah sebenarnya motivasi jihad buat generasi mendatang!<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><b><span style="line-height: 200%;" lang="MK">PEREMPUAN 4<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoBodyText"><b><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span></span></b><span style="line-height: 200%;" lang="MK">Tanah Uhud hak aku!<span style=""> </span>Bukan hak Quraisy.<span style=""> </span>Bukan milik musyrikin.<span style=""> </span>Tanah Uhud adalah lambang kehebatan Islam.<span style=""> </span>Bukan aku hendak bermegah dengan apa yang aku katakan di sini.<span style=""> </span>Tetapi itulah aku.<span style=""> </span>Bermain pedang dan menjamah darah musuh sudah biasa bagiku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Musailamah!<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Kaulah petualang di bumi Arab.<span style=""> </span>Akan ku tentangmu kerana kau telah lakukan dosa terhadap ku.<span style=""> </span>Kau telah khianati Islam.<span style=""> </span>Kau telah cemarkan keindahan Islam.<span style=""> </span>Kaulah yang telah membunuh puteraku Hubaib!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Aku telah berjanji pada diriku dan suamiku, Zaid bin Ahsim.<span style=""> </span>Aku akan tentangmu dan aku sendiri akan pancung kepalamu.<span style=""> </span>Biarpun aku<span style=""> </span>mungkin terkorban, tapi aku puas kerana aku telah tunaikan apa yang telah aku simpan di dalam hati.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Aku sudah banyak pengalaman perang.<span style=""> </span>Tanganku terpotong kerana perang Yamamah.<span style=""> </span>Aku tidak kisah di gelar srikandi bertangan satu.<span style=""> </span>Realitinya begitu.<span style=""> </span>Bertangan satu bukan bermakan aku akan tewas.<span style=""> </span>Yang satu itu ada hebatnya.<span style=""> </span>Tuhan taqdirkan aku bertangan satu dan dalam masa yang sama Tuhan kurniakan aku jitu hati srikandi.<span style=""> </span>Akan aku gunakan kejituan itu untuk Islam.<span style=""> </span>Akan aku gabungkan penderitaan ku bersama duka suamiku ketika aku hadapi Musailamah.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Musailamah!<span style=""> </span>Bersedialah kau untuk rasa sakit dan derita dari ibu dan isteri seorang pahlawan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Dengan tanganmu yang satu, kau akan tentang munafik tu?” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Telah aku tekadkan dalam hatiku begitu,” ujarnya. “apa yang ku </span><span style="line-height: 200%;">t</span><span style="line-height: 200%;" lang="MK">ekadkan itulah yang akan aku persembahkan.<span style=""> </span>Aku akan tuntut bela di atas kematian anaku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Aku faham,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kalau kau faham kau tak sepatutnya simpan bimbang di dalam hatimu,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Aku tak bimbang cuma...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kerana aku bertangan satu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat hanya upaya lontarkan keluhan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ternyata ada gundah dalam hatimu,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat mengeluh lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Akan aku buktikan bawa apa yang terluka di Yamamah<span style=""> </span>akan aku ubati di Uhud nanti,” janjinya penuh keberanian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat tidak upaya menyurutkan suhu keberanian srikandi bertangan satu.<span style=""> </span>Ternyata apa yang mahu dinyatakan oleh sahabat bukan sesuatu yang boleh diterima oleh srikandi pintar panah dan pedang itu.<span style=""> </span>Benarlah perumpaman yang pernah didengarinya ketika dalam perang Hunain: Tekad itu bukan mudah untuk disurutkan kalau apa yang berlaku itu telah lukai hati seseorang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Di kalangan Anshar, Khazraj, Mazin juga orang Madinah dialah srikandi berhati seteguh bukit Uhud.<span style=""> </span>Dialah srikandi berpuput bayu jihad sekencang angin di tanah Yamamah.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Terbayang diruang mataku saat kau memotong tubuh puteraku, Musailamah.<span style=""> </span>Lewat tragedi itu masih ku dengar laungan dari putera yang paling ku sayangi.<span style=""> </span>Ternampak olehku linangan airmatanya menuruni pipi nya sebelum jatuh menimpa debu dan batu-batu di bumi Yamamah. </span><span style="line-height: 200%;"><span style=""> </span></span><span style="line-height: 200%;" lang="MK">Musailamah, munafik mu akan ku balas dengan tajam pedang daripada arwah suamiku.<span style=""> </span>Aku sayang Hubaib.<span style=""> </span>Dia puteraku yang memiliki kehebatan seperti arwah suamiku.<span style=""> </span>Tanganku yang terpotong akan aku gantikan dengan kepalamu.<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Serahkan tugasamu kepada sahabat suamimu,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tidak...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tapi..”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Aku tak fikirkan tentang tanganku yang satu ni tapi aku fikirkan </span><span style="line-height: 200%;">t</span><span style="line-height: 200%;" lang="MK">entang Islam yang satu,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat diam.<span style=""> </span>Dia menundukkan kepalanya.<span style=""> </span>Sesekali dia merenung bukit Uhud yang juah.<span style=""> </span>Sejenak dia gambarkan semula perang Yamamah yang telah mengorbankan anak dan suami sahabat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Aku akan korbankan segalanya demi Islam,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Sahabat...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kalau kita inginkan Islam tu gah di dunia ni marilah kita bersatau di bawah satu semangat,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tapi...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Jangan jadikan hal-hal kecil sesuatu yang besar,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Sahabat...”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Kuda sudah berada di lapangan,”dengan tangan terpotong sahabat menelan liurnya. “apa lagi yang kita mahu kerana panah dan pedang kita telah tajam melainkan kita turun sahaja ke medan perang, bukan setakat menentang Musailamah tetapi membunuhnya!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Siup!<span style=""> </span>Siup!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Panah dengan mata pedang berselisih di atas kepala.<span style=""> </span>Lompatan kuda lasak dan gah di dalam peperangan mengkalutkan lagi keadaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Sahabat!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ada apa sahabat?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Musailamah!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Apa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Abdullah bin Zaid putera sahabat yang membunuhnya,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Ohhhh!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>“Tuhan tentukan yang Musailamah terkorban bukan di tangan sahabat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat diam lagi.<span style=""> </span>Dia bersyukur kerana darah dagingnya juga yang membunuh munafik itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span>Nusaibah binti Ka’ab Al-Ansyariyah, srikandi bertangan satu.<span style=""> </span>Kaulah panglima dalam sebarkan nur Islam.<span style=""> </span>Akhirnya piala perempuan syurgawi tetap milikmu!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: center;" align="center"><u><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><o:p><span style="text-decoration: none;"> </span></o:p></span></u></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: center;" align="center"><u><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><br /><o:p></o:p></span></u></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-3323359076837909952008-09-27T00:33:00.000-07:002008-09-27T00:59:48.784-07:00DI LEMBAH BARAKAH<div style="text-align: justify;font-family:verdana;"><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" ><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAcWKkvSBNQuG4A3HjHttwbU4mjIAFkOQRRtoScDAZ2dniNWIoUXAGrMC7B4adOqMPxkbeaK-wLdRcxcwqVgdcSyj6oJRnPNk1uQrGe0BMN8LhoXUkWyJb6t42SWAvmEj00_YwFZmOGJk/s1600-h/langit+5.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAcWKkvSBNQuG4A3HjHttwbU4mjIAFkOQRRtoScDAZ2dniNWIoUXAGrMC7B4adOqMPxkbeaK-wLdRcxcwqVgdcSyj6oJRnPNk1uQrGe0BMN8LhoXUkWyJb6t42SWAvmEj00_YwFZmOGJk/s320/langit+5.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250601838704871714" border="0" /></a></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" ><u style="font-family:arial;"><span style="line-height: 200%;" lang="MK"><o:p></o:p></span></u><u style="font-family:arial;"><span style="" lang="MK"><o:p></o:p></span></u></span> </div><div style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;"><table style="text-align: left; margin-left: 0px; margin-right: 0px;" cellpadding="0" cellspacing="0" hspace="0" vspace="0"><tbody><tr><td style="padding: 0in;" align="left" valign="top"><span style="font-size:100%;"><br /></span></td> </tr> </tbody></table> </div><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><br /><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"> Sudah cukup lama dia tidak kunjungi sejuk lembah barakah.<span style=""> </span>Sejak dia bergelar hartawan,<span style=""> </span>dia seakan jijik untuk lewati laman yang pernah dia tanam pohon hajat dan semai benih tahajjud itu.<span style=""> </span>Sejak namanya merentas separuh daripada muka dunia ini, dia seakan segan untuk memijakki lembah yang pernah dia temui akar-akar witir dan bunga iktikaf, apa lagi untuk mencium harum bunga qiamulail.<span style=""> </span><span style=""> </span>Dulu, dialah pengutip bunga bunga iktikaf.<span style=""> </span>Dialah yang membersihkan laman terawih.<span style=""> </span>Dialah penghuni lembah barakah yang banyak sekali menyimpan manuskrip sejarah Islam.<span style=""> </span>Dia fasih bercerita tentang pahlawan Islam, Usamah bin Zaid.<span style=""> </span>Al-Ala bin Al-Hadhrami, malah dia juga tahu kisah Utbah Ibn Ghazwan, Tariq bin Ziyad, pahlawan Abdullah bin Masud yang terlibat dalam Perang Badar serta pahlawan Abdullah Bin Rawaha yang terlibat dalam Perang Mu,tah.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Rentetan kisah-kisah wanita syurgawi tetap meniti<span style=""> </span>di kelopak bibirnya.<span style=""> </span>Kisah Umayyah binti Qais Al-Ghifariyah , seorang jururawat ketika dalam peperangan sentiasa segar dan hidup dalam relung ingatannya.<span style=""> </span>Kisah Ummu Sulaim<span style=""> </span>binti Malham, ceritera Sumayyah binti Hubbath yang disiksa bersama anaknya Ammar dan suaminya Yasir oleh Abu Jahal, benar-benar menginsafkan dia, apa lagi dengan citrawara jururawat tauladan Rufaidah Al-Anshariyah yang menjadi idola penyair Ahmad Muharram dalam kumpulan karangannya yang berjudul <i>Al-Ilyazah Al-Islamiyah</i>.<span style=""> </span>Semuanya fasih diceritakan tatakala dia mendiami rumah insaf di<span style=""> </span>lembah barakah. </span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Waktu dia menjadi penghuni lembah barakah, dia juga pintar berkisah tentang masjid-masjid di Madinah.<span style=""> </span>Malah dia pernah bercerita latar sejarah Masjid Quba, masjid yang terletak di sebidang tanah milik Kalsum bin Hadam.<span style=""> </span>Dia juga tahu titik sejarah Masjid Jumaat, masjid yang berceratuk di Lembah Ranuna.<span style=""> </span>Masjid Khomsah yang tersergam di Khandaq daerah pergunungan Sila’ di pinggir kota Madinah, juga dia fasih arif titik sejarah masjid itu.<span style=""> </span>Masjid Fadhih, Masjid Bani Quraizah, Masjid Masyrobah Ummi Ibrahim, Masjid Ijabah dan Masjid Qiblatin yang mempunyai dua mihrab, kisah Masjid Jabal Uhud, di ceritanya penuh teratur dan teliti.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Telaga-telaga bersejarah di tanah bercahaya itu juga dia simpan sejarahnya.<span style=""> </span>Kisah Telaga Aris pernah di hafal lancar di bibir.<span style=""> </span>Telaga Ghurus, Telaga Raumah,<span style=""> </span>Telaga Bidha’ah, Telaga Anas bin Malik bin Nadhar, malah kisah Telaga Quraidhah juga dia tahu siratan sejarahnya.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Lembah barakah yang mengalirkan air keinsafan dan tulus taqwa sudah lama benar tidak dikunjungi.<span style=""> </span>Laman yang direndai dengan hijau daun doa, taman tahajjud,<span style=""> </span>wilayah witir,<span style=""> </span>dan tanah terawih itu sudah jauh ditinggalkan, apalagi hendak diziarahi.<span style=""> </span>Dia tinggalkan lembah barakah kerana sekelumit harta dan kebun kemewahan.<span style=""> </span>Dia jijikkan tanah barakah kerana kekayaan secebis.<span style=""> </span>Benarlah tutur orang, harta kadang-kadang boleh jadikan manusia palsu.<span style=""> </span>Kini kebun kemewahan yang dipinjamkan sekejap itu sudah ditarik balik dan dia ditamui kemiskinan, lalu dalam guliran air mata<span style=""> </span>yang berkaca, dia kembali bersimpuh dan meletakkan tulus diri di<span style=""> </span>lembah barakah</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Longlai langkahnya disusun, menjunamkan hujung kakinya tanpa sepatu ke lembut lembah barakah.<span style=""> </span>Guliran air matanya di batas pipi kelihatan bersinar bila terkena tangkupan cahaya dari bola matahari senja yang melambungkan gabungan warna sayu kuning pinang masak .<span style=""> </span>Ternyata tanah situasi di lembah barakah itu betul-betul mengoyak keangkuhan dan meletakkan ngilu di hatinya.<span style=""> </span>Pokok-pokok bunga yang ditinggalkannya dulu, kini sudah menjadi pohon rendang dengan luahan bunga-bunga indah yang menerbitkan berbagai bau.<span style=""> </span>Luluh hatinya bila bau-bau yang bervariasi itu menusuk kelopak hidungnya.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Tik!</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Guliran airmata pertamanya yang sekian lama bertahan di batas pipi, bergolek jatuh ke atas licin dada daun-daun di lembah barakah.<span style=""> </span>Cantik sinar itu masih sama seperti cantik sinar yang pernah ditontonnya ketika dia tinggal di lembah barakah dulu.<span style=""> </span>Perlahan-lahan diangkat guliran airmatanya itu, kemudian dijamahnya penuh sayu.<span style=""> </span>Suam titik itu masih sama seperti yang pernah dijamahnya detik silam.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dia bingkas berdiri.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span style="font-size:100%;"><i><span lang="MK"><span style=""> </span>Allah hu akbar</span></i></span><span lang="MK" style="font-size:100%;">, dulu itulah tuturnya yang selalu diucapkan.<span style=""> </span>Bila dia berada di puncak keagungan, ucapan itu cukup jarang terloncat dari lorong kelopak bibirnya.<span style=""> </span>Dan kini dia ucap kembali tutur itu dengan penuh ngilu di ulu hati, bila dia bersimpuh di sempadan kesempitan.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dia mengesotkan hujung jari kakinya.<span style=""> </span>Dan kaki yang tidak bersepatu itu di atur longlai ke hilir.<span style=""> </span>Sekuntum bunga segar di lembah barakah tiba-tiba terpangku di ribaannya.<span style=""> </span>Di kutipnya bunga tersebut, ditatap perlahan penuh insaf.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Bunga terawih.<span style=""> </span>Bisik hatinya.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Di tatapnya bunga itu dengan pandangan penuh sayu.<span style=""> </span>Keluhannya tercurah inti insaf.<span style=""> </span>Cukup lama dia tidak memandang bunga yang hanya kembang dalam bulan Ramadan ini.<span style=""> </span>Airmatanya menjurai menimpa kelopak bunga yang lembut itu.<span style=""> </span>Di beleknya kelopak<span style=""> </span>bunga ramadan itu satu persatu.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Kelopak pertama, kelopak taubat.<span style=""> </span>Airmatanya bergulir lagi bila melihat kelopak tersebut.<span style=""> </span>Sepatutnya dia sudah lama membelek kelopak itu, kerana hal-hal taubat sebenarnya sifat yang perlu wujud dalam diri muslim untuk bebaskan diri daripada dosa.<span style=""> </span>Tapi entah kenapa dia tiba-tiba sahaja jadi alpa.<span style=""> </span>Jadi perahu yang tidak berkemudi.<span style=""> </span>Jadi<span style=""> </span>pokok yang tidak bertunjang.<span style=""> </span>Dia akhirnya jadi kiambang yang mengikut anak alur air.<span style=""> </span>Sepatutnya dulu lagi dia<span style=""> </span>mencium bunga ramadan sambil membelek kelopak taubat dan tidak memandang remeh dosa kecil yang mendorongnya melakukan dosa besar.<span style=""> </span>Sepatutnya sudah lama dia muhasabah dirinya, bukan bermegah dengan apa yang dimiliki sambil sedia mengaut rahmat dan kasih sayang Allah S.W.T. yang melimpah ruah.<span style=""> </span>Dan airmatanya jatuh lagi bertaburan di atas tajam hujung rumput yang menghijau di lembah barakah bila mengatur silap lalunya.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Bingkas berdiri, dengan tangan masih memegang bunga ramadan, dalam longlai tapak yang tidak lagi bersepatu, dia menuju ke hilir lembah barakah.<span style=""> </span>Pandangannya yang berbalam kerana dilitupi airmata penyesalan, disapu dengan perut jari.<span style=""> </span>Isak kecilnya terutus di copeng telinganya.<span style=""> </span>Biarpun perlahan tapi sendat berisi ngilu.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p class="MsoBodyText" style="text-indent: 1in; font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Kelopak ke dua bunga Ramadan diperhatikan.<span style=""> </span>Kelopak istigfar.<span style=""> </span>Tapi lidahnya seakan kekok dan kelu untuk zahirkan ucapan istigfar.<span style=""> </span>Dia tahu.<span style=""> </span>Istimewanya istigfar, tapi entah kenapa, tiba-tiba sahaja tuturnya seakan tertutup dan hilang dalam kerongkong untuk aturkan murni ucapan tersebut.<span style=""> </span>Dia tahu, istigfar mententeramkan hati yang sedih dan berdukacita, menghilangkan kesusahan dan melunaskan rezeki serta menunaikan segala hajat, membersihkan hati daripada lalai dan lupa dan mampu menerima tiap-tiap sesuatu itu dengan ketenteraman iradah dan kudrah Allah. <span style=""> </span>Istigfar juga mengkafarahkan sepuluh dosa, serta menjadi titi untuk menuju Hasanul Khatimah.<span style=""> </span>Tapi semua itu tidak upaya diucapkannya kerana dia sudah lama tidak kunjungi lembah barakah.<span style=""> </span>Dia sudah jauh tinggalkan lembah yang dihiasi dengan bunga-bunga witir, tahajjud dan qiamulail itu.<span style=""> </span>Dia terkepung oleh nafsunya sendiri.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Tik!<span style=""> </span>Gelungsuran airmatanya jatuh lagi menimpa kelopak bunga ketiga.<span style=""> </span>Kelopak ketiga kali ini<span style=""> </span>membawa cahaya sedekah.<span style=""> </span>Dan airmatanya menitis lagi kerana cahaya sedekah yang pernah dipandangnya silam, sudah terpisah dari dalam dirinya.<span style=""> </span>Soal budi dan budiman juga sudah jauh meninggalkan dirinya setelah dia agak lama tidak menziarahi laman barakah.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Kelopak bibirnya dikacip dan dia mengemam lagi airmatanya.<span style=""> </span>Kekesalannya kerana peristiwa silam sudah banyak mengajarnya erti tanda hidup dan kehidupan.<span style=""> </span>Dia pun tidak tahu, kenapa tiba-tiba sahaja dia menjadi manusia yang bencikan lembah barakah, sedangkan dilembah itulah dia selalu bercucuk iman dan bertanam amal.<span style=""> </span>Di subur lembah itulah dia menugal nikmat dan mengutip pucuk-pucuk kenikmatan yang segar menghijau.<span style=""> </span>Barangkali kerana dia disaluti nafsu amarah, dibaji kemegahan lalu dia hindarkan diri dari hadir ke lembah barakah.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Kelopak iktikaf di belek.<span style=""> </span>Ternyata kelembutan kelopak itu sudah lama tidak dijamah.<span style=""> </span>Dan kini dia kembali bertekad<span style=""> </span>untuk menjamah lembut kelopak itu sambil mencium bunga Ramadan setelah cukup lama bunga itu tidak di pandang dan diciumnya.<span style=""> </span>Dulu dialah penghuni masjid di lembah barakah.<span style=""> </span>Dialah yang membaiki kolah di masjid tersebut.<span style=""> </span>Lima kali sehari dia laungkan azan memanggil jemaah mengerjakan solat.<span style=""> </span>Tapi setelah dia berada di puncak dunia, dia tidak lagi memandang rumput di bumi sedangkan dia tahu hijau rumput sebenarnya sebahagian daripada kebesaran Illahi.<span style=""> </span>Kini menara nama yang gah di tunjuk langit kehidupannya, sudah tumbang dan dia tidak perolehi apa-apa kecuali kesalan dan airmata.<span style=""> </span>Lalu bila tiba saat ujian begini, dia cuba bandingkan dirinya dengan rumput.<span style=""> </span>Apa guna jadi pohon besar yang tidak berdaun, baiklah menjadi rumput, meskipun kecil tapi rumput yang terbaik di permatang.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Kelopak iktikaf di usapnya perlahan penuh sayu berbalut ngilu.<span style=""> </span>Tanpa di duga, airmata yang bergulir di pipinya, terhambur di atas kelopak yang lembut itu.<span style=""> </span>Antara iktikaf dan ibadah puasa sebenarnya buah perkara yang lebih menghampirkan seseorang kepada Allah.<span style=""> </span>Untuk memegang kelopak iktikaf, mestilah menggenggam bunga ramadan terlebih dahulu.<span style=""> </span>Tapi kemewahan yang sedikit mengalpakan dia untuk terus memegang bunga ramadan, bunga yng paling di sukai waktu menjaga masjid di lembah barakah.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Kini dia kembali ke lembah barakah dengan guliran airmata dan naskah ngilu di ulu hati.<span style=""> </span>Dipegangnyanya bunga ramadan penuh limpah kasih sayang, dicium penuh idaman, dibiarkan kelopak itu basah terkena guliran airmata insafnya.<span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p class="MsoBodyText" style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">(ii) </span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><i>"Barangsiapa yang mengerjakan puasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan kepada Allah dan benar-benar mengharapkan keampunan, nescaya Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu." <o:p></o:p></i></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><span style=""> </span></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p class="MsoBodyText" style="font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><u><span lang="MK"><br /><o:p></o:p></span></u></span></p><div style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 200%; font-weight: bold; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-58149614221245510192008-09-26T19:59:00.000-07:002008-09-26T20:04:13.901-07:00SERIKANDI TANAH MERDEKA<span style="font-size:100%;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_eHp7qUxwRG1mQ0bExbCFpkdrnKHJRoKjcDxlLQuTRur8mNbo7ADi6g_ez4wV2vweFoYl0aqzqb8suKTgkHoRFffRc68jdZ_8kC0PHV2bAUZISM9WQl_hA8NLC2vFIPx4k9Vv8hqbQ_I/s1600-h/SENJA+2.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_eHp7qUxwRG1mQ0bExbCFpkdrnKHJRoKjcDxlLQuTRur8mNbo7ADi6g_ez4wV2vweFoYl0aqzqb8suKTgkHoRFffRc68jdZ_8kC0PHV2bAUZISM9WQl_hA8NLC2vFIPx4k9Vv8hqbQ_I/s320/SENJA+2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250531231066363058" border="0" /></a><br /></span> <p class="MsoNormal"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFooter" style=""><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><o:p></o:p></span></p> <h4><span style=""></span></h4> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> MATA</o:p></span><span style=";font-family:ArenaOutline;font-size:100%;" lang="MK" ></span><span style="" lang="MK"> senjata <i>tumbuk lada</i> yang melengkung bongkok udang itu, ditatap tegap dalam petala pandangan sang srikandi.<span style=""> </span>Pintu maling rumah, berdinding papan janda berhias dan papan jenang itu, ditatap lagi dengan tajam renungan.<span style=""> </span>Sesekali dinding<span style=""> </span>ukiran cantik dari motif bunga kala bukit, bertindan bunga lawang, berayunan dalam geram kerlingannya.<span style=""> </span>Kain batik lepas bersusun wairon masih membaluti tubuhnya.<span style=""> </span>Senjata yang lebih kecil daripada keris itu di hiasi dengan unik ukiran halus disaluti perak. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>“Aku akan ubah tubir derita ni!” Srikandi mencabut mata senjata budaya Melayu yang tampan dan indah itu, “laman ni lamanku!<span style=""> </span>Rumah ni rumahku!<span style=""> </span>Aku takkan berpindah!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Srikandi menyusun tatapan ke selasar senjata yang sama tampannya dengan keris itu.<span style=""> </span>Tunam kebenciannya pada zalim tentera Jepun makin tumpat. “Aku dilahirkan dari tutur hulubalang!” Garing pasir di laman rumah ditumbuk padat!<span style=""> </span>“Aku takkan undur dan alihkan tumpat tapakku dari tanah lahir ni biarpun berkecai jasad ni!” janji Srikandi. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Hulu senjata tumbuk lada yang dibentuk dari kayu kemuning urat beriringan ditatap lagi, “aku akan tentang bajingan yang menghancurkan maruah keluargaku!”<span style=""> </span>Hulu berhias bunga sodok dan putik di hujung itu, cukup nyalang bila terkena simbahan cahaya matahari. “Keluargaku bukan barang dagangan!<span style=""> </span>Maruah mereka sama dengan maruahku!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Srikandi bingkas berdiri.<span style=""> </span>Mata senjata tumbuk lada dimasukkan semula ke dalam hangat bilik sarung, berukiran tebuk tembus, bergelang puyuh dan tanduk itu.<span style=""> </span>Langkah <i>hanuman</i> menerkam musuh dipersembahkan sepenuh sifir kebengisan, dengan sulur senjata tampan itu masih tercekak cergas dalam genggaman.<span style=""> </span>Jari-jari runcing kini tidak lembut lagi.<span style=""> </span>Jari yang panjang seperti sepit udang galah itu sudah acapkali menumbuk dan menikam garing pasir dan halus batu di laman rumah.<span style=""> </span>Hujung jari milik perawan itu sudah bersedia dan upaya untuk menentang kejahatan manusia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>“Kenapa keluargaku dipancung?” Srikandi mengetip bibir.<span style=""> </span>Matanya bersinar banar menatap sahabat serumpun yang bersimpuh di atas tikar pandan bercorak sisik kelah dan kisar mengiri. “Apa salah mereka?” Srikandi menepuk gelegar rumah.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat diam.<span style=""> </span>Keluhan kecil terpantul dari hujung kelopak garing.<span style=""> </span>Ternyata keluhan itu juga memburai kesalan berlanjutan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>“Kenapa keluargaku sahaja yang dikutip untuk siapkan jalan keretapi maut di Burma? “ Srikandi menepuk birai pagar larik.<span style=""> </span>Bergetar pagar larik tersebut.<span style=""> </span>” Kenapa tidak keluarga lain?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat bungkamkan diri bersama keluhan yang bersusun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>“Kezaliman ni akan ku tentang!” Kembali menepuk birai pagar larik, dia melepaskan satu sepakan silang berisi perjuangan.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat yang bersimpuh di atas tikar mengkuang bercorak kisar mengiri dan sisik kelah itu diterpa kasima.<span style=""> </span>Dia tidak menduga begitu pantas hebat Srikandi memamerkan buah persilatan Melayu.<span style=""> </span>Dia tidak menyangka.<span style=""> </span>Kaki kecil yang tirus panjang itu upaya menyentuhi kayu alang di sutuh rumah.<span style=""> </span>Dan kaki itu juga hampir-hampir merombak sutuh rumah yang bersiku kelawar ukir bunga daun saga kenering.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>“Aku mesti tegakkan kemerdekaan!” Srikandi berpusing di atas tumit.<span style=""> </span>Senjata tumbuk lada bermata bongkok udang balik sumpah dan tajam sebelah itu di gapai gaseng.<span style=""> </span>Siup!<span style=""> </span>Matanya disentak pantas seperti hanuman menyentak keris.<span style=""> </span>“Orang yang kejam adalah musuh Tuhannnn!” Srikandi tunduk tafakur bersama senjata tumbuk lada dalam gemggaman. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Sahabat mengalihkan tapak kedudukannya.<span style=""> </span>Dari tikar pandan bersisik kelah dan kisar mengiri, ke tikar mengkuang bercorak kelarai berati berkaki.<span style=""> </span>Pandangannya tidak teralih pada teguh hebat persilatan Srikandi.<span style=""> </span>Depaan tangan Srikandi bermumbu kemerdekaan.<span style=""> </span>Silangan kaki Srikandi bertemin perjuangan.<span style=""> </span>Peluh-peluh yang bertaburan dari tubuh Srikandi berbenih tanah air.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>“Cacing yang kecil menggeliat bila diinjak-injak!” Srikandi berpusing lagi selepas tamat tafakur.<span style=""> </span>Pusingan di atas tumit itu ligat seperti gasing uri di atas tapak uri.<span style=""> </span>“Burung dara akan mematuk untuk lindungi telur yang dieramnya.<span style=""> </span>Dan akulah burung dara itu!” Srikandi sekali lagi mendamik birai pagar larik.<span style=""> </span>Pagar itu bergetar. “Merdeka!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="" lang="MK"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="" lang="MK">**************<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Di mana kau sembunyikan suamimu?!<span style=""> </span>Di mana?!” Tingkat gempa suara herdikan lelaki bertopi kelabu, bagaikan halilintar, menebuk terus gegendang telinganya. Pengcekah senjata itu sudah lama ditarik dan jarinya sudah dimasukkan ke rumah picu senjata.<span style=""> </span>Benet yang tajam bersinar di hujung senjata itu dihalakan ke perut Srikandi.<span style=""> </span></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Srikandi mengacip kelopak bibir garingnya.<span style=""> </span>Kegeramannya<span style=""> </span>pada lelaki bertopi kelabu makin bingkas.<span style=""> </span>Rambutnya mengerbang namun niat dan cekal hatinya tetap berkembar.<span style=""> </span>Tangannya masih tertuas pada gerigis dan bonggol pohon getah.<span style=""> </span>Peluh-peluh perjuangannya bertaburan<span style=""> </span>dan berbenih lagi di bumi Illahi.<span style=""> </span>Istiqamah dan<span style=""> </span>teguh tekadnya tentang kemerdekaan bergunung dalam semangatnya meskipun terbanir gandalan yang terbujur. </span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Lurus laras senapang automatik bersaiz 7.62 mm dihalakan ke tubuh Srikandi.<span style=""> </span>“Di mana suami mu?!” Ulang bajingan.<span style=""> </span>Retina mata pengkhianat bangsa pantas merejam pandangan cekal Srikandi.<span style=""> </span>Gempa suara herdikan itu menusuk dan menebuk jauh ke dalam tiub auditori telinga Srikandi. Srikandi tidak menutup tukul dan andas telinganya.<span style=""> </span>Herdikan itu hanyalah cabaran kecil baginya dalam menuntut kemerdekaan.<span style=""> </span>Herdikan itu cuma sulur selumbar yang akan dipatahkan demi sebuah perjuangan.<span style=""> </span></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Srikandi tidak biarkan keresahan mengeceh tekadnya.<span style=""> </span>Bulat laras senjata automatik musuh sebenarnya tidak pernah mengecutkan isitiqamah perjuangannya.<span style=""> </span>Bulat laras senjata musuh adalah bulat kimah kemerdekaan yang bergunung dalam rasanya.<span style=""> </span>Herdikkan dan gangguan gempa suara bajingan, sebenarnya sebuah gempa kemerdekaan.<span style=""> </span>Kebun dan ladang, adalah wadah perjuangan.<span style=""> </span>Penutupan lombong dan kemusnahan tanah lahir adalah tuntutan.<span style=""> </span>Tiap-tiap hak membawa kewajipan.<span style=""> </span>Kemerdekaan tidak akan tercapai dengan menadah tangan.<span style=""> </span>Biarlah dia terkorban di umbi pohon getah asalkan kemerdekaan tercapai.<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Kau nampak ni?” Herdikan bajingan makin bergempa. Muka bajingan merah padam seperti besi yang dibakar.<span style=""> </span>Manusia sebangsa dengan Srikandi itu melakarkan nafas singa, “senjata ni akan menebuk tubuhmu.”</span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Imej bajingan pada retina Srikandi, sebenarnya imej buruk yang mesti ditentang.<span style=""> </span>Imej bajingan pada otot siliari Srikandi adalah imej bajingan yang tidak mungkin menggugatkan teguh kemerdekaan yang diidamkan.<span style=""> </span>Imej bajingan adalah gerutup imej perjuangan Srikandi.<span style=""> </span>Dan Srikandi terus tegapkan tekadnya.<span style=""> </span>Perjuangan mesti dihimpun demi sebuah kemerdekaan. “S</span><span lang="MS" style="font-size:100%;">enjata dan peluru ditanganmu.<span style=""> </span>Tapi takdir di tangan Tuhan.” Tegas tekis Srikandi.<span style=""> </span>Gelemair matanya menangkap lagi induk<span style=""> </span>imej pengganas di hadapan laman padang pandangannya <span style=""> </span></span><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span></span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Bajingan meletakkan kemarahannya di laman wajah jendalnya.<span style=""> </span>Lubang laras senjata yang pernah menebuk berbelas tubuh manusia itu terus dihalakan ke arah datar dada Srikandi.<span style=""> </span>Perempuan yang pernah menabur benih pahlawan berkembar hulubalang<span style=""> </span>itu tidak pernah rusuh dengan halakan itu.<span style=""> </span>Halakan itu hanyalah satu permainan dan dia mesti menewaskan pemain yang telah melupakan akar dan tapak tanah kehidupan.<span style=""> </span>Dia mesti tumbagkan bajingan yang menghalang laluan menuju menara merdeka.<span style=""> </span>Bajingan menarik pengcekah senjata automatiknya.<span style=""> </span>Anak-anak peluru berkepala tembaga bersusun di dalam rumah peluru.<span style=""> </span>Preng!<span style=""> </span>Bunyi pengcekah senjata dilepaskan gaseng. “Sekarang beritahu aku!<span style=""> </span>Di mana suamimu?”</span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Kan aku dah cakap!<span style=""> </span>Aku tak tahu!” Balas Srikandi.<span style=""> </span>Mukanya sudah banyak bergalur.<span style=""> </span>Namun tekadnya tidak bergalur, tetap teguh seperti bukit di belakang bajingan.</span></p> <p class="MsoBodyText"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Tak tahu?” Bajingan menghempaskan <i>but</i> senapangnya ke bumi.<span style=""> </span>Iris matanya merakam seluruh perbuatan Srikandi. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"> </span><span style="" lang="MK">“Bukalah matamu,” Srikandi mengangkat wajah.<span style=""> </span>Wajah iras satria itu menghimpun cekal tinggi “</span><span style="" lang="MS">Orang-orang yang kau siksa sebenarnya terdiri daripada bangsamu sendiri.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>“Diam!” Bajingan membuka luas kornea matanya.<span style=""> </span>“Aku tak mahu dengar semua tu.<span style=""> </span>Aku mahu tahu di mana kau sembunyikan suamimu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Srikandi tidak menyampuk.<span style=""> </span>Andas telinganya tiba-tiba menangkap bunyi daun-daun kering dipijak.<span style=""> </span>Dia melilau kanta matanya ke kiri dan kanan tanpa pengetahuan bajingan.<span style=""> </span>Dari gaya pijakkan dia tahu, pijakkan itu datangnya dari rakan suaminya.<span style=""> </span>Dia yakin.<span style=""> </span>Pertempuran akan berlaku sebentar lagi dan inilah yang ditunggu-tunggu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>“Di mana suamimu?” Bajingan terus mengulangi pertanyaan dengan membaling pandangan bengis.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Srikandi membalas balingan pandangan itu, “kita serumpun.<span style=""> </span>Kita sama-sama usahakan kebun.<span style=""> </span>Kita majukan lombong.<span style=""> </span>Apakah kerana risalah tu, kau mahu lupakan rumpunmu?!” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>“Sudahhhh!” Jari terlunjuk diletakkan di lengkungan picu. “Kau jangan nak subahat.<span style=""> </span>Pihak risikan telah tahu kegiatanmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Srikandi bungkamkan diri.<span style=""> </span>Hal-hal pergerakan suaminya tidak pantas diceritakan biarpun dia kini berdepan dengan maut.<span style=""> </span>Dia sudah bebatkan tekadnya.<span style=""> </span>Apa pun yang membunjur dan gandal dalam pola perjuangannya mesti dipertahankan dipuncak.<span style=""> </span>Soal-soal rahsia dan mutu pergerakan pasukan suaminya, bukan soal mainan.<span style=""> </span>Soal negara.<span style=""> </span>Hal merdeka!<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Prap! Prap!<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Bunyi gaya pijakan daun kayu menusuk lagi melalui tiub audiotari telinganya.<span style=""> </span>Srikandi khabar dan tahu benar.<span style=""> </span>Cara pijakan dan siulan itu sebenarnya satu rangkaian kata jodoh pergerakan pasukan Deraman Harimau.<span style=""> </span>Gaya itu gaya penuh pejuang kemerdekaan.<span style=""> </span>Kemerdekaan itu kemuliaan dan dia mesti berjuang untuk kemerdekaan.<span style=""> </span>Dia menanti dengan debar tapi sabar pergerakan itu dan dia tahu, pertempuran akan berlaku sebentar lagi.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Karpus dan metakarpus tangan Srikandi terasa pedih bila tali yang mengikat pergelangan tangan itu bergesel dengan bonggol batang getah.<span style=""> </span>Namun Srikandi tetap utuhkan cekal dalam pergerakan dan perjuangan.<span style=""> </span>Halangan yang berbanjar itu sebenarnya satu falsafah untuk gapai kejayaan.<span style=""> </span>Duka yang berganda itu sebenarnya satu syair untuk tunaikan kemerdekaan.<span style=""> </span>Kerana itu Srikandi tidak pernah pamerkan kegelisahan waktu berdepan dengan lelaki betopi kelabu.<span style=""> </span>Laras senjata yang dihadapkan kebatang tubuh Srikandi di terima dengan sabar.<span style=""> </span>Srikandi memasak keyakinan kekal.<span style=""> </span>Kemerdekaan miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>“Di mana suamimu?” Bajingan mengangkat <i>but</i> senjata ke bahu.<span style=""> </span>Anak-anak peluru yang bersusun di dalam rumah peluru sudah bersedia untuk dilancarkan. “Kali ni, senjata ni akan meletup!” Pengcekah senjata ditarik kembali, “cakap!” Pengcekah senjata dilepaskan gaseng.<span style=""> </span>Enjin kerja senjata itu sudah bersedia untuk bekerja. “Cakap!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Tiba-tiba letupan kuat membelah kesit belantara.<span style=""> </span>Kulit tanah berhamburan tinggi menimpa daun-daun kering di denai dan cerun.<span style=""> </span>Bajingan tumbang tertiarap di bumi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="" lang="MS"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="" lang="MS">******************<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="" lang="MS"><span style=""> </span>Srikandi menyimpan senjata <i>tumbuk lada</i> di dalam almari.<span style=""> </span>Tampan dan segak senjata seperti keris dengan mata senjata melengkung bongkok udang bentuk <i>balik sumpah</i> itu,<span style=""> </span>tertulis wadah kemerdekaan.<span style=""> </span>Sarung kayu senjata warisan kemerdekaan yang dikapuh dari kayu kemuning urat beriringan, berukiran daun saga kenering itu ada selampit perjuangan.<span style=""> </span>Kemerdekaan tak tercapai dengan sebutan sahaja.<span style=""> </span>Kemerdekaan itu harus diusahakan dan diperjuangkan.<span style=""> </span>Dan ketika rabas pertama airmata Srikandi menimpa pagar larik rumah Melayu papan janda kayu cengal ukiran tebuk tembus<span style=""> </span>berhias bunga cempaka telur, tedesis sesuatu dari kelopak bibir yang sudah kendur: <i>peganglah teguh-teguh jika engkau mendapat kemerdekaan kerana kemerdekaan itu sedikit sekali dalam dunia ini. <o:p></o:p></i></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-38187541206416025692008-09-26T19:45:00.000-07:002008-09-26T19:58:34.954-07:00RINDU TANAH MALAYA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid9PO82dR7KX7LyQeIwVgbzVS0eehPvgFfJmQAgdxm-m4dk6KscY1pfWTZQX6BQpigSr37aDMU8RwdFCHBbT7ASqLRMxaeOcDVwYzUjIx6DZDexFZOcpEOD83Xv10Z2M_LJBQLoXmA7IE/s1600-h/sengsara+3.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid9PO82dR7KX7LyQeIwVgbzVS0eehPvgFfJmQAgdxm-m4dk6KscY1pfWTZQX6BQpigSr37aDMU8RwdFCHBbT7ASqLRMxaeOcDVwYzUjIx6DZDexFZOcpEOD83Xv10Z2M_LJBQLoXmA7IE/s320/sengsara+3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250529425290550290" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;">Bula Malaya</span><br /><span style="font-weight: bold;">Bula Malaya kei Viti Talenga</span><br /><span style="font-weight: bold;">Cauravou era ya gangga</span><br /><span style="font-weight: bold;">Nibula ni bula kece sara</span><br /><span style="font-weight: bold;">Me da sa mai vei kuna tale</span><br /><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">(Hello Malaya dan Fiji<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <h3 style="text-align: justify;"><span style="font-weight: normal;font-size:100%;" >Pemuda-pemuda kami <o:p></o:p></span></h3> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Adalah askar yang berani<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Mereka gembira<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Hello, hello semua....<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Teringatlah Fiji...Fiji sangat kecil...)<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-size:100%;"><b><span style="" lang="MK">i<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Hening yang jatuh berlambakan di petak padang Syria Park Nausori, Fiji tersusun padat dalam bingkai kornea mata Seremaia Vakarusa.<span style=""> </span>Bekas Sarjan askar Fiji yang pernah berkhidmat di bumi Malaya antara tahun 1952-1956 itu bertongkat sambil menyapu perlahan baki kristal airmata di kelopak matanya dengan perut jari tangan kiri.<span style=""> </span>Tiupan begol lagu <b>The</b> <b>Last</b> <b>Post</b> terus mengoyak naskah ngilu yang<span style=""> </span>bersarang di dadanya.<span style=""> </span>Seiringan dengan tiupan begol itu, bendera negaranya diturunkan perlahan-lahan setengah tiang sebagai menghormati teman yang gugur.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sesekali dia melebarkan gelemair matanya ke arah bekas teman-teman yang datang dari Persatuan Bekas-Bekas Perajurit Fiji dari cawangan Tebara yang merangkumi daerah Nausori, Naitasiri dan Rewa.<span style=""> </span>Teman-teman juga sudah banyak yang bertongkat, tua, perut buncit dan uzur.<span style=""> </span>Kebanyakan teman-temannya merupakan anggota dari Kompeni A yang pertama sekali meninggalkan Fiji menuju Singapura melalui kapal.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Di Singapura bekas sarjan itu di pimpin oleh Ratu Edward Chakobau sebelum berpindah ke Kota Tinggi bagi jalani latihan perang.<span style=""> </span>Dan ketika di Labis terciptalah lagu <b>Bula</b> <b>Malaya</b> yang dikarang oleh Josua Rabakuwaqa Komandan Platun Mortar Kompeni A.<span style=""> </span>Lirik lagu nostalagia itu menebuk perlahan mozek ingatannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 2.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><span style="" lang="MK">ii<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>1954<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Darah membuak di bahu Seremaia Vakarusa.<span style=""> </span>Darah itu jatuh dan mengelar urat-urat timbul di dada daun kayu kayan di pelepah bukit.<span style=""> </span>Sesekali dia meluahkan kerutan di anjung wajahnya dan ternyata kerutan itu melambangkan jumlah kesakitan yang jitu.<span style=""> </span>Rifelnya tetap tersangkut di bahu dan teguh ikhlas perjuangannya di Tanah<span style=""> </span>Malaya seperti ikhlas teguhnya bukit-bukit di kaki Labis.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Biar saya tumbuk daun kayu kayan ni.”<span style=""> </span>Salmah, perempuan tanah Malaya memeriksa luka di bahu pejuang dari Fiji itu. Darah merah perajurit itu terlekat di hujung jari terlunjuknya.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;font-size:100%;" lang="MK" ><span style=""> </span>“Daun kayu?” Muka perajurit Fiji agak berkerut bila Salmah menyentuhi lopak luka di bahunya.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;font-size:100%;" lang="MK" ><span style=""> </span>“Daun kayu ni berubat.”<span style=""> </span>Salmah menyapu peluh dimukanya.“Hutan Tanah Melayu kaya dengan ubat tradisional.<span style=""> </span>Ayah saya selalu guna daun ni bila setiap kali dia luka.<span style=""> </span>Bukan sia-sia daun kayu kayan ni di cipta.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Salmah...” Seremaia Vakarusa menelan liurnya.<span style=""> </span>Peluh di mukanya sudah banyak yang jatuh ke bumi. “Terima kasih kerana sudi bantu saya.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Senyuman kecil terbuhul di hujung kelopak bibir cantik Salmah. “Terima kasih juga saya pada perajurit dari Nausori kerana sudi berjuang dengan panji komanwel di tanah air saya.”<span style=""> </span>Tangannya hitam terpalit daun kayu<span style=""> </span>berubat yang ditampal di bahu tentera Fiji itu.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Saya senang dengan perempuan Tanah Malaya.” Ujar Seremaia Vakarusa, “budinya setinggi bukit-bukit di Bahau ni.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Salmah tidak pantas menjawab, mengolah sekuntum senyuman kemudian membalut luka di bahu perajurit Fiji bertubuh sasa itu.<span style=""> </span>Darah yang membuak di papan bahu kini sudah berhenti.<span style=""> </span>Lengkingan daun-daun ketika diterpa angin menusuk perlahan andas telinga <span style=""> </span>Seremaia Vakarusa.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Budi tu bersifat antarabangsa.” Sambil menyambung ujar, perajurit Fiji meriba rifelnya. “Ukuran peradaban sesebuah negara bukan terletak pada subur tanahnya tapi pada darjat kemerdekaanya.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Salmah menyapu peluh di mukanya.<span style=""> </span>Perempuan berambut panjang yang gemar memakai baju kurung itu mengemaskan cucuk sanggulnya.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dia berkata,<span style=""> </span>“buat baik bukan kerana budi,melainkan bakti.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;font-size:100%;" lang="MK" ><span style=""> </span>“Rasanya tak mahu pulang ke Fiji.” Seremaia Vakarusa melingas pandangan ke hujung kaki bukit.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;font-size:100%;" lang="MK" ><span style=""> </span>“Vakarusa, Tanah Malaya hanya tempat bertugas.<span style=""> </span>Bukan tanah air saudara.” Balas Salmah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;font-size:100%;" lang="MK" ><span style=""> </span>“Tapi tak salah kalau saya katakan Tanah Malaya ni tanah air saya yang keduakan?” Seremaia Vakarusa meletakkan soalan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="line-height: 200%;font-size:100%;" lang="MK" ><span style=""> </span>“Vakarusa?” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-size:100%;"><b><span style="" lang="MK">iii<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>1955<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Petikan tali gambus memukau Tanah Malaya.<span style=""> </span>Lenggok lagu-lagu yang menyentuh hati perantau, pantas terluah di hujung jari seni Sarjan Seman.<span style=""> </span>Lelaki pejuang itu tidak pernah menunjukkan resah waktu berjuang pertahankan negara.<span style=""> </span>Ketika peluru musuh himpang himpit di telinganya, dia terus menentang petualang tanpa rimbunan resah di ulu hati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Kau seorang pejuang berjiwa tanah air, Seman.”<span style=""> </span>Seremia Vakarusa menyapu peluhnya. “Pahlawan Melayu sebenarnya seorang yang berani.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Bukan aku seorang yang berani.<span style=""> </span>Kau juga berani.“ Sarjan Seman tersenyum kecil sambil memetik tali gambus.<span style=""> </span>Sesekali dia melambungkan pandangannya jauh ke kaki bukit di daerah Bahau.<span style=""> </span>Dengan kecekapannya memetik tali gambus setidak-tidaknya dia telah berjaya hiburkan hati pejuang-pejuang dari Fiji.<span style=""> </span>Kerana kecekapannya bermain gambus akhirnya di digelar Sarjan Gambus.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Gambus antik itu diribanya perlahan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Seman..”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Ada apa Rusa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Aku tertarik dengan dia.”<span style=""> </span>Perlahan suara Seremaia Vakarusa sambil meletakkan pandangan pada picu rifelnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Dia?” Muka Sarjan Seman berkerut. Gambus yang diribanya disandarkan ke dinding berek, “siapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Perempuan Tanah Malaya.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Perempuan Tanah Malaya?”<span style=""> </span>Sarjan Seman diam sejurus.<span style=""> </span>Kelopak bibirnya dikemam.<span style=""> </span>Wajahnya berkerut memikirkan sesuatu.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Budi baiknya tak dapat ku balas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Memang itulah perempuan Tanah Malaya, Rusa.” Sarjan Seman meriba kembali gambusnya.<span style=""> </span>Dua tiga kali dia memetik tali gambus, dan bunyi peteh petikan itu tertebar sayu, jauh ke hujung berek, “mungkin wajahnya tak cantik tapi dia boleh cantikkan budinya kalau dia mahu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Seman,” Seremaia Vakarusa memeriksa raifelnya, “ada rindu ku tumpah di sini.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Rindu?” Sarjan Seman menyapu muka gambusnya, meriba kemudian memetik dua tiga lagu ngilu. “Maksudmu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Salmah.” Ringkas tutur Seremaia Vakarusa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sarjan Seman diam.<span style=""> </span>Menabur pandangan jauh ke hujung berek dan ke kaki bukit tinggi yang berbalam.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Dia seorang perempuan yang baik,” Seremaia Vakarusa melucutkan gugus keluhan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sarjan Seman diam.<span style=""> </span>Memasung diri dan rasanya di celah-celah petikan tali gambus yang ngilu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-size:100%;"><b><span style="" lang="MK">iv</span></b></span><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sarjan Seman menyapu kristal peluh yang berkaca di wajahnya.<span style=""> </span>Wajah yang berkedut itu menyimpul simpan seribu rahsia dan pengalaman waktu menuntut kemerdekaan<span style=""> </span>Gambus yang pernah di petik ketika bersama tentera Komanwel disandarkan di atas almari.<span style=""> </span>Kumat kamit dia gerakkan bibirnya menyanyikan lagu <b>BULA</b> <b>MALAYA</b>.<span style=""> </span>Lagu nostalgia itu cukup mekar dalam indraloka ingatannya.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dialihkan pandangannya pada anak keris yang tersangkut di dada dinding.<span style=""> </span>Keris tiga lok itu hadiah dari Kopral Robi, anak timur dari sempadan Malaysia-Thai.<span style=""> </span>Lama direnungnya keris tersebut.<span style=""> </span>Dalam budaya Melayu, bisik hatinya, keris meletakkan lambang sempurnanya wibawa Melayu dan barang pusaka yang punyai kukuh kuasa magis.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Perlahan-lahan dia mengambil keris yang memiliki ketampanan rupa, kekacakan garis dan kehalusan hiasan itu.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Ditariknya mata keris dari perut sapir, lalu diciumnya mata keris berbentuk gerak ular campuran alunan ombak dan arus air itu.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Terkenang Mat Kilau, terbayang Tok Janggut.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Teringat Megat Panji Alam yang memakai keris panjang perbuatan Minangkabau, empat jengkal, memakai pendua berhulukan bawang sebungkal bertatahkan permata merah.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Ditenung tilik anak keris kecil berseni, teringat kisah keris Raja Mambang Malik yang mempunyai mata sepukal pamur perak tiga biji di hujungnya:</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><i>Keris bernama Semilawari<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><i><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Pedang bernama kilat senja<o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><i><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>Diam dalam cembul gading.</span></i></span><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Ombak melambung buihnya hingga hinggap di perabung rumah.<span style=""> </span>Seorang lelaki, sebayanya, menjatuhkan langkah di celah-celah garing pasir dan suam percikan buih, menjinjing beg memasuki halaman rumahnya.<span style=""> </span>Anak keris di simpan di dalam almari ukir.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dia meletakkan pandangan pada tubuh<span style=""> </span>Dia terpegun melihat langkahan lelaki itu.<span style=""> </span>Senyuman kecil berbunga di hujung kelopak lelaki bertopi anyaman buluh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Boleh saya tumpang tanya?” Telonya pekat Inggeris.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sarjan Seman terpegun “tuan boleh bercakap Melayu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Saya lama di Tanah Melayu.” Jawabnya, senyum sambil menyapu peluh di mukanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">“Tuan nak tanya apa?” Sarjan seman membiarkan percikan anak ombak menimpa mukanya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Apakah ini rumah Sarjan Seman?”<span style=""> </span>Perlahan tutur Seremaia Vakarusa, sambil melilau kiri dan kanan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Sarjan Seman yang mana satu tuan?” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Sarjan Seman yang pernah bertugas dengan tentera komanwel.” Jelas Seremaia Vakarusa. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Errrr...ya..ya..”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Ini Sarjan Semankah?” Usul bekas tentera Fiji.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Ya, saya.“<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Sarjan tak kenal saya lagi?” Seremaia Vakarusa tersenyum.<span style=""> </span>Perutnya agak buncit.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Saya dah tua, tuan”<span style=""> </span>Jawab Sarjan Seman.<span style=""> </span>Di biarkan anak-anak ombak menyapa tubuhnya. “Fikiran orang tua mudah lupa.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Saya Sarjan Seremia Vakarusa dari tentera Fiji.” Dia perkenalkan dirinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Sarjan Seremia Vakarusa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Sarjan tentu ingat:<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">*Bula Malaya kei Viti Talenga, <o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Cauravou era ya gangga, <o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Vosa na wei e vaka lasalasa,<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Ni bula ni bula kece sara, <o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Me da sa mai vei kuna tale,<span style=""> </span><o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">*(Hello Malaya dan Fiji<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <h3 style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;font-size:100%;" >Pemuda-pemuda kami <o:p></o:p></span></h3> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Adalah askar yang berani<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Mereka gembira<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Hello, hello semua....<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Teringatlah Fiji...Fiji sangat kecil...)<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Vakarusa, maafkan aku.” Ujar Sarjan Seman.<span style=""> </span>Senyum.<span style=""> </span>Mereka berpelukan ketika busa buih menyapa dan menimpa tebing pantai. “Macam mana kau tahu rumah aku?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Aku hubungi persatuan beks perajurit,” Sarjan Seremaia Vakarusa menompang tangan di kepala tangga, “aku bagi nombor tentera kau dan mereka berikan alamat rumah ni.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sarjan Seman mengeluh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Seman, macam mana dengan Salmah?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Salmah?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-size:100%;"><b><span style="" lang="MK">iv<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Kita dah tua Rusa,” Salmah bersimpuh di beranda.<span style=""> </span>Pandangannya menjalar pada kaki laut yang biru membiru.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Tua hanya pada perkataan dan sebutan,” Seremaia Vakarusa duduk di birai tangga.<span style=""> </span>Wajahnya di bayangi bilah daun kelapa gading yang berbuah kuning, “tapi kasih dan sayang saya pada awak tetap seperti dulu, Salmah.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Bunga-bunga bungkam mengalungi keluhan Salmah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Salmah, saya ikhlas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Salmah berengsot, “awak tahu dengan keadaan saya’kan?” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Apa salahnya kita berkongsi masalah.” Tujahan mata Seremaia Vakarusa berhimpun dalam seludang mata Salmah.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Ketika rambutnya terumbai ditiup angin, Salmah menumpang tangan di gelegar rumah.<span style=""> </span>Dia berengsot ke beranda,<span style=""> </span>memandang air laut yang biru membiru menebuk dinding pantai,<span style=""> </span>“Rusa, lupakanlah saja niat awak tu.”<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Tidak Salmah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Awak dah tengok cara hidup saya’kan?” Salmah menyelak anak-anak rambut yang menutupi dahinya.<span style=""> </span>“Perkahwinan orang tua dan lumpuh macam saya ni, tentu menyusahkan awak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Saya dah biasa hidup susah.” Seremia Vakarusa menyangkut topinya di kepala tangga.<span style=""> </span>“Isteri saya yang dulu juga lumpuh.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Sarjan Seman diam tidak menyampuk.<span style=""> </span>Sesekali dia lingaskan pandangannya pada Salmah dengan bekas Sarjan dari Fiji itu.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dia cuba renangi lagu BULA MALAYA dalam kotak ingatannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">“Biarlah saya di negara saya.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Awak di Fiji.” Perlahan ujar Salmah, memandang alunan lembut air laut dan burung-burung menyisir di atas pulau.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">“Kalau awak teringkatkan saya,” Salmah menyelak anak rambut yang <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">cuba</st1:place></st1:country-region> menutup pandangannya, “doakanlah kesihatan saya.</span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">Kalau awak sayangkan Tanah <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Malaysia</st1:place></st1:country-region>, ingatlah lagu BULA MALAYA.”</span><span style="font-size:100%;"> </span></p> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">“Salmah, soal sekarang saya...saya...” Tutur Seremaia Vakarusa tergantung di situ.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Terimalah hakikat bahawa kita takkan bersama.” Perlahan tutur Salmah.<br /><span style=""> </span>“Kerana warna kulit?” Soal bekas Sarjan Fiji.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;">“Tuhan jadikan manusia berbagai warna kulit bukan untuk berkecil hati tapi untuk berfikir tentang kebesaran dan kehebatannnya.” Salmah melurut kakinya dengan minyak akar kayu yang panas.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Seremaia Vakarusa meletakkan keluhannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Pulanglah ke Fiji.” Salmah memadang jauh ke dalam mata Seremaia Vakarusa, “ramai teman-teman awak menanti di sana.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>“Salmah, peluh saya banyak tumpah di Tanah Malaysia ni.” Ujar Seremaian Vakarusa antara keluhan dan harapan, “saya...saya rindukan tanah bertuah ni.<span style=""> </span>Kalau awak menolak hasrat saya ini...saya takkan pulang ke Fiji lagi.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;">“Rusa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Ombak terus berdebur, meletakkan busa buih dan menambah basah butir pasir di dada pantai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-size:100%;"><b><span style="" lang="MK">v<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK"><span style=""> </span>*Bula Malaya kei Viti Talenga, <o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Cauravou era ya gangga, <o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Vosa na wei e vaka lasalasa,<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Ni bula ni bula kece sara, <o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Me da sa mai vei kuna tale,<span style=""> </span><o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">*(Hello Malaya dan Fiji<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <h3 style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-weight: normal;font-size:100%;" >Pemuda-pemuda kami <o:p></o:p></span></h3> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Adalah askar yang berani<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Mereka gembira<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Hello, hello semua....<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 200%;"><span style="font-size:100%;"><b><i><span style="" lang="MK">Teringatlah Fiji...Fiji sangat kecil...)<o:p></o:p></span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 200%;"><span lang="MK" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-86312466555243545072008-09-26T19:39:00.000-07:002008-09-26T19:44:48.086-07:00LELAKI TIRAI BAMBU<a style="color: rgb(51, 0, 51);" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0rsemIe_fSgtMt3qPQfl3SN5fRKSXV8kvYIQ83Ebb96d6dcZ6UKcWf8PR8S40b2jl89Lrep7vKbV1SzDUdKW6AT7B5FVL1vTvT9OkKHqpG-JhWIgCHSO1oHoWnWrn0kQKO87kHXF6Jz4/s1600-h/duka+18.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0rsemIe_fSgtMt3qPQfl3SN5fRKSXV8kvYIQ83Ebb96d6dcZ6UKcWf8PR8S40b2jl89Lrep7vKbV1SzDUdKW6AT7B5FVL1vTvT9OkKHqpG-JhWIgCHSO1oHoWnWrn0kQKO87kHXF6Jz4/s320/duka+18.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250525834418596722" border="0" /></a><br /><br /><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 200%; font-weight: bold; color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-size:100%;" lang="MK" >"AYAHku bukan pengkhianat!”<span style=""> </span>Dia menumbuk bumi.<span style=""> </span>Pasir dan batu kecil melekat padu di buku tangan. “Ayahku seorang pembela!” Dia berpusing ligat di atas tunjang tumit, “kalau tidak ada manusia seperti ayahku, tak ada kemerdekaan bagi tanah lahir ni!”<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" > </span>Dia memecahkan bucu empat persilatan Melayu.<span style=""> </span>Kelewang panjang berhulu 8 sentimeter dengan panjang matanya 39 sentimeter itu digenggam gagah dalam genggaman tangan kanan.<span style=""> </span>Mata kelewang tajam bergetah itu terhambur sinarnya menimpa perabung kampung apabila terkena panahan cahaya matahari dari anjung langit.<span style=""> </span>Tapak satu di atur.<span style=""> </span>Padu dan padat.<span style=""> </span>Lengannya di depa.<span style=""> </span>Tengkolok dari jenis perlipatan <i>Lang menyongsong angin</i> yang disongket dengan benang emas di corak tepi kain, megah makmur di puncak kepalanya.<span style=""> </span>Urat-urat betisnya membanir seperti akar cengal bila dia persembahkan tapak persilatan harimau, “ayahku bersemangat kebangsaan!” Kelewang panjang berjambul dipusing berbelas kali di atas puncak kepala sebelum dibalingkan ke perdu tembesu. “Penjajah marahkan ayahku kerana dia seorang pejung kemerdekaan.<span style=""> </span>Bukan tali barut!”<span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><i>Tapak satu di susun, kemas menyantun</i>.<span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Kelewang panjang bermata jambul terus ditatang tegap dalam genggaman.<span style=""> </span><span style=""> </span>Kali ini dia mesti hapuskan tali barut penjajah.<span style=""> </span>Kekejaman manusia kejam itu akan dibalas.<span style=""> </span>Kerana merekalah ayahnya di tuduh<span style=""> </span>pengkhianat.<span style=""> </span>Kerana mereka jugalah lelaki yang pernah menghidangkan resepi kemerdekaan itu dipandang sebagai pengganas.<span style=""> </span>Dan kerana mereka jugalah ayah ditomah, kononnya ayah mahu membunuh<span style=""> </span>Penghulu dan mahu menyerang ashkar-ashkar Kerajaan.<span style=""> </span>Kerana jahat tali barut yang dengkikan ayah, akhirnya tawaran<span style=""> </span>dua puluh ribu ringgit di keluarkan kalau dapat menangkap ayah hidup atau mati.<span style=""> </span>Dan akhirnya ayah ditembak tatakala sedang mengambil wuduk di sungai.<span style=""> </span>Ayah terhumban ke dalam sungai.<span style=""> </span>Kepala anak peluru dari muncung senapang penjajah berselirat menembusi dada bidang ayah.<span style=""> </span>Mayat ayah di kadar seperti mengandar haiwan buruan.<span style=""> </span>Semua itu akan di balas!<span style=""> </span>Ayah bukannya pengkhinat!<span style=""> </span>Bukannnnn!</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><i>Tapak dua di atur tenaga Panglima.<o:p></o:p></i></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>“Aku takkan lepaskan muuu!” Dia terus memusing kelewang jambul.<span style=""> </span>Mata kelewang yang panjang 39 sentimeter itu akan bermandi darah pengkhianat.<span style=""> </span>Tengkolok <i>lang menyongsong angin</i> tetap megah di puncak kepala.<span style=""> </span>Ayah bukan pemberontak!.<span style=""> </span>Dia membaling kelewang jambul ke tengah gelanggang udara. Dengan langkah harimau tidur, mulutnya kumat kamit membaca sesuatu dan kelewang yang berpusing seperti baling-baling itu, menjunam hujung tajam ke tengah telapak tangannya.<span style=""> </span>Pantas ditangkapnya mata kelewang itu kemudian di putar kembali di atas kepalanya sebelum menetak bumi.</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Dia tunduk. Guliran peluh dan kegeramannya bersandingan di bumi.<span style=""> </span>Di renungnya mata kelewang yang baru saja digunakan buat menetak kulit bumi.<span style=""> </span>Mata kelewang itu tidak terjejas sedikit pun meskipun menetak pasir dan batu.<span style=""> </span>Ayah bukan penjenayah.<span style=""> </span>Ulangnya lagi.<span style=""> </span>Semua itu propaganda penjajah.<span style=""> </span>Dakyat penjajahhhh!<span style=""> </span>Ayah seorang alim.<span style=""> </span>Seorang lebai bersemangat kebangsaan.<span style=""> </span>Selepas sembahyang sunat di masjid, ayah bersumpah di hadapan Pak Iman dan para jemaah, ayah bukannya perancang utama pembunuhan Penghulu.<span style=""> </span>Ayah nyatakan bahawa semua itu angkara masyarakat kampung yang berebut jawatan tersebut.<span style=""> </span>Dan ayah tidak terlibat langsung dalam pakatan jahat itu.</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Namun tidak ada siapa yang endahkan sumpah ayah.<span style=""> </span>Tidak ada insan yang percayakan cakap ikhlasnya.<span style=""> </span>Malah ada yang berbisik sesama sendiri mengatakan bahawa ayahlah pengganas.<span style=""> </span>Ayahlah yang merancang penutupan sistem air di desa hilir.<span style=""> </span>Ayahlah yang membakar perahu Imam Mamat dan Lebai Masud.<span style=""> </span>Ayah yang menutup gelanggang silat Pak Su Nik Man.<span style=""> </span>Ayah yang membunuh Kapten Mac Fountaine.<span style=""> </span>Puas ayah merayu dan mengadu, namun manusia tali barut penjajah tetap mengatakan bahawa ayah seorang penjenayah.<span style=""> </span>Kerana itu ashkar penjajah terus mengepungi desa, mencari dan mengintai ayah.<span style=""> </span>Kalau tak dapat ayah, terjumpa tapak kaki ayah juga mereka akan cincang.</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><i>Tapak tiga di buka, tapak Paduka.<o:p></o:p></i></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><span style=""> </span>“Ayah seorang yang warak!” Kelewang jambul berhulu kayu kemuning di baling tepat ke perdu cengal.<span style=""> </span>Tepat balingan itu.<span style=""> </span>Bergetar hulu kelawang jambul.<span style=""> </span>Perlahan-lahan dia bersimpuh di atas garing pasir, tunduk tafakur kemudian mengaut angin dan menghimpunnya di batas dada.<span style=""> </span>Pandangan singanya tepat menancap ke arah matahari merah di barat.<span style=""> </span>Dua tiga kali dia lakukan gerak sedemikian.<span style=""> </span>Di satukan dua telapak tangan secara berasingan, di tengah-tengah bidang dadanya.<span style=""> </span>Telapak tangan kanan terungkup telapak tangan kiri terlentang.<span style=""> </span>Kumat kamit mulutnya membaca sesuatu.<span style=""> </span>Kelopak matanya terpejam, seperti sedang mengenangkan sesuatu.<span style=""> </span>Telapak tangan kanan dan kiri di pusing sekali gus berserta dengan silangan kaki kanan di bawah perlipatan betis kaki kiri.<span style=""> </span>Gerak gaya tapak tegap kaki keras hanuman dipertunjukkan penuh gaya berseni,<span style=""> </span>“ayahku seorang yang warak!” Dia terus menentang angin, “ayahku menyayangi bangsa, agama dan tanah air.”<span style=""> </span>Tengkolok lang menyongsong<span style=""> </span>angin berbenang emas itu masih utuh di puncak kepalanya, “mana mungkin seorang yang sayangkan bangsanya di tuduh pengkhianat?”</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Dibiarkan angin mengusap-gusap mukanya.<span style=""> </span>Hujung perlipatan tengkolok lang menyongsong angin bergetar bila dia persembahkan semangat Tuah.<span style=""> </span>Langkah Jebat dipersembahkan penuh tulus.<span style=""> </span>Ilmu kependekaran milik sahabat lima saudara itu digali dari perlipatan ilmu arwah ayahnya.<span style=""> </span>Kemudian ilmu itu di amalkan dan akan diluahkan bila bertemu tali barut koloni.</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><i>Tapak empat, langkah cepat. <o:p></o:p></i></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>“Kematian pejuang tanah air tu tetap ku bela.” Dia terus mengumpul semangat dalam dada.<span style=""> </span>Tirai bambu yang tergantung di muka pintu rumahnya ditatap tegap dengan kornia matanya.<span style=""> </span>Peluh-peluh mulai bermanik dan berperak di segenap sentimeter tubuhnya, “aku akan cari manusia yang memakan daging bangsaku sendiri!” Berguling dan bergulung seperti tenggiling, bingkas berdiri, dia terus mencapai keris tiga lok.<span style=""> </span>Keris kebangaan Panglima itu direnungnya penuh istiqamah. “Aku akan tebus aib manusia yang menembak jasa arwah ayahku.”<span style=""> </span>Keris yang ditatahkan dengan pudi manikam bersarungkan emas dipahat, ditatahkan permata bersalut, dicekak kembali dalam genggaman.<span style=""> </span>Dan hari ini dia akan jadi Panglima!<span style=""> </span>Biar daerah tahu.<span style=""> </span>Dia anak bekas seorang pejuang.<span style=""> </span>Biar kampung kenal, dia anak seorang alim.<span style=""> </span>Biar koloni sedar, dia anak dari arwah manusia yang punyai semangat kebangsaan.<span style=""> </span>Biar tali barut arwah ayah tahu, dia anak dari zuriat manusia yang sayangkan bangsanya sendiri.<span style=""> </span>Biar abad tahu, dia waris Tok Janggut, Mat Kilau, Datuk Purba Jelai, Datok Bahaman, Mat Kelubi dan Pawang Nong. </span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><i>Tapak satu di kapuh semangat menyimpuh</i><span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Keris tiga lok dibaringkan di atas jemburan.<span style=""> </span>Langkah hanuman tegap bersasa dibangkitkan.<span style=""> </span>Waktu dia menyilangkan hujung jariya di bawah perlipatan siku, kanta pencapah matanya memerangkap gerakan awan di langit jauh.<span style=""> </span>Lama direnung hanyutan awan tersebut kemudian dilambungkan kembali renung itu pada kelewang panjang yang masih tercucuk di perdu cengal.<span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>“Ayahku seorang pejuangggg!” Kembali berguling di atas bumi, tanpa tertanggal tengkolok <i>Lang menyosong angin</i> dari puncak kepala, dia mencapai tombak yang terselit di dinding.<span style=""> </span>Tombak bermata tajam campuran besi sepuluh jenis itu di pusing-pusing di atas kepala, “ayah ku bukan pengkhianat!<span style=""> </span>Ayah ku bukan pengikut orang kaya yang menyerang Mr. Townson yang memudiki sungai Semantan ke Lubuk Terua.” Tombak berhulu kayu kemuning berpelak tidak dilontarkan, “ayahku tidak menembak Mr. Little.” Dan tombak itu dilontarkan tepat di batang pohon cengal pasir. “ayah ku orang yang warak!”</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Gerak cuaca cerah di langit jauh, meletakkan damai seketika meskipun dalam daerah tercetus kukuh konflik.<span style=""> </span>Apa pun halangan yang terbujur, dia tetap dengan tekadnya.<span style=""> </span>Pembunuh ayahnya mesti di cari.<span style=""> </span>Kuncu-kuncu koloni yang menyiksa mayat ayahnya akan ditebas seorang demi seorang.<span style=""> </span>Manusia yang simpati dengan penjajah, kemudian mengatakan bahawa ayahnya pengkhianat, akan disusuli.<span style=""> </span>Ayahnya tidak pengkhianat.<span style=""> </span>Ayahnya juga bukan perancang pembunuhn tok Penghulu.<span style=""> </span>Dia mengulangi.<span style=""> </span>Ayahnya seorang yang berjiwa kental.</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Dibiarkan angin mengutis kulit tubuhnya. Tapak persilatan Melayu dikemaskan.<span style=""> </span>Melangut, terpandang bapa gayung, tunduk terbayang<span style=""> </span>ibu gayung.<span style=""> </span>Di kanan Tuah, di kiri Jebat.<span style=""> </span>Lekir di depan, Lekiau di belakang.<span style=""> </span>Kasturi di tengah-tengah.<span style=""> </span>Angkat kaki, tendang angin.<span style=""> </span>Ada Dato Bahaman dalam gagah tendangan itu. Siku angin tetak udara.<span style=""> </span>Tok Janggut tafakur dalam gugus udara.<span style=""> </span>Tarik nafas, nafas Tok Gajah.<span style=""> </span>Menghimpun gerak, gerak Mat Kilau.<span style=""> </span>Gerak satu gerak padu, gerak dua tanah air dan agama.<span style=""> </span>Gerak tiga, gerak bangsa.<span style=""> </span>Koloni mesti dihapuskan.<span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Kerana merekalah berlakunya perpecahan di kalangan penduduk desa.<span style=""> </span>Kerana penjajahlah timbulnya masalah dalam sistem pungutan cukai.<span style=""> </span>Kerana merekalah pembesar-pembesar Melayu hilang punca pendapatan.<span style=""> </span>Kerana mereka jugalah Residen jadi keras hati.<span style=""> </span>Kerana merekalah ayahku di tuduh penjenayah.<span style=""> </span>Dan kerana keji perbuatan merekalah akhirnya ayahku ditembak.<span style=""> </span>Koloni dengan tali barut adalah sama.<span style=""> </span>Satu karung!<span style=""> </span>Semuanya pengkhianat bangsa!</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Siupp!</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Tombak diluncurkan pada perdu cengal.<span style=""> </span>Bergetar tombak tersebut.<span style=""> </span>Langkah persilatan Melayu yang padat padu dengan nafas hulubalang dan deru pendekar, menyobek tekadnya.<span style=""> </span>Akanku musnahkanmu pengkhianat!<span style=""> </span>Akan ku hancurkan mu tali barut yang berikan dakyah palsu.<span style=""> </span>Tiba-tiba dia tafakur.<span style=""> </span>Kelopak matanya tergenang.<span style=""> </span>Kelamnya menyerkup diri.<span style=""> </span>Ngilu di atas perbuatan anak pribumi sendiri makin memanjati rasa dan perasaannya.<span style=""> </span>Apa lagi rindu itu makin bertambah bila dia ingat tutur Iman Ahmad.<span style=""> </span>Iman cukup sedih dengan kematian arwah ayah dalam keadaan yang cukup menyayatkan hati. </span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Seorang demi seorang penduduk kampung bangkit menyarung baju wira, menyahut seruan penjajah untuk membunuh ayah dengan harapan agar dapat merebut hadiah lumayan.<span style=""> </span>Iman menyesal dengan kejadian orang kampung yang jadi tali barut penjajah untuk musnahkan ayah.<span style=""> </span>Iman terkilan dengan penduduk kampung yang sanggup menukar dan menggadai rentak pendekar dengan wang ringgit.<span style=""> </span>Dan akhirnya ayah di bunuh dengan kejam.<span style=""> </span>Bunyi tembakan serentak di sudut hening pagi menghancurkan segala-galnya.<span style=""> </span>Ayah rebah terguling bersama tusukan anak-anak peluru yang berselirat menembusi dada.<span style=""> </span>Apa yang diujarkan tali barut koloni itu semuanya dusta menumpang nista.<span style=""> </span>Ayah menyayangi bangsa, agama dan tanahairnya.<span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span><i>Tapak satu di kapuh semangat menyimpuh</i><span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Kenapa jadikan ayah sasaran koloni?<span style=""> </span>Apa salah ayah?<span style=""> </span>Di mana silap ayah?<span style=""> </span>Kenapa batang tubuh ayah yang bersalut warak dan sayangkan tanahair dititik sebagai penjenayah?<span style=""> </span>Ahhhh!<span style=""> </span>Manusia biadap!<span style=""> </span>Menyimpan haloba dalam diri! Kebiadabanmu akan ku balassss!<span style=""> </span>Apakah nyawa ayah semahal 20 ribu ringgit? </span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Kembali menyusun tekad, dia mencapai semula keris tiga lok.<span style=""> </span>Tengkolok <i>Lang menyosong angin</i> dikemaskan semua di puncak kepala.<span style=""> </span>Kegeramamnnya mulai mendidih.<span style=""> </span>Kebenciannya pada tali barut penjajah terus memuncak.<span style=""> </span>Kesedihannya akan diganti dengan kegembiraan.<span style=""> </span>Mata keris di tatap tegap.<span style=""> </span>Semangat juang ayah terbaring di sepit rotan keris.<span style=""> </span>Janggut keris menyimpan nur agama.<span style=""> </span>Gah tanah air di lambai gajah keris.<span style=""> </span>Aring keris aring<span style=""> </span>Mat Kilau dan Datok Bahaman.<span style=""> </span>Tulang keris tulang penjajah.<span style=""> </span>Keris pedang bakal menunjah!</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Cisss!</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Menuju pengkalan, mengendong sinar semangat,<span style=""> </span>junjung tekad, himpun istiqamah dan hasrat, dia menarik kolek yang tersorok di bawah lembut daun-daun sagu yang tajam juringnya.<span style=""> </span>Tebing sungai yang dirimbuni pokok-pokok kecil dan besar itu, suam sejuk<span style=""> </span>airnya.<span style=""> </span>Kali ini sungai akan menghimpun darah penjajah!.<span style=""> </span>Dalam dirinya hanya satu.<span style=""> </span>Penjajah atau manusia tali barut.<span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Mendayung perlahan menyusuri sungai, keris tiga lok terselit di celah bekong hitamnya.<span style=""> </span>Tengkolok <i>Lang menyonsong angin</i> tegap teguh di puncak kepala.<span style=""> </span>Guliran peluhnya berhimpun di celah kong kolek.<span style=""> </span>Peluh-peluh itu nanti akan di saring menjadi renda semangat.<span style=""> </span>Tali barut penjajah akan di hapuskan.<span style=""> </span>Ayah bukan pengkhianat.<span style=""> </span>Ayah tidak pernah menyimpan niat untuk membunuh Cikgu Usof, Guru Besar dari sekolah di kampung seberang .<span style=""> </span>Ayah juga tidak pernah muafakat untuk membunuh penghulu.<span style=""> </span>Ayah tidak pernah menyerang ashkar kerajaan.<span style=""> </span>Tapi kenapa ayah dituduh sedemikian?</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Berkolek ke hilir, semangat ingin membalas dendam makin bergunung.<span style=""> </span>Suam sejuk air sungai diceduk dengan telapak tangan.<span style=""> </span>Perlahan-lahan air itu digunakan buat menyapu muka.<span style=""> </span>Berkayuh lagi sambil mata mencerlung tajam ke kiri kanan dan sewaktu melewati pengkalan tempat ayah di tembak, rasa ingin membalas dendam makin mencuat.<span style=""> </span>Ayah dibedil ketika sedang mengambil wuduk dan kini manusia yang membedil ayah sudah di kenal pasti.<span style=""> </span>Dia akan menuntut bela.</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Kolek di kayuh lagi.<span style=""> </span>Menghampiri selekoh, melewati tempat ayah dibedil, sambil matanya melilau kiri kanan dengan panahan geram tiba-tiba serentak timbul lapan lembaga dari dalam semak.<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>DAMMMMM! DAMMMMMM! DAMMMMMMM!</span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);" class="MsoBodyText"><span lang="MK"><span style=""> </span>Koleknya berpusing.<span style=""> </span>Tubuhnya tertiarap di celah kong kolek.<span style=""> </span>Kolek h</span><span style="">n</span><span lang="MK">ayut perlahan ke hilir sebelum terungkup di dalam sungai bawah rimbunan dahan pohon jitung. </span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-69366819222254328712008-09-26T19:11:00.000-07:002008-09-26T19:14:29.463-07:00LILIN YANG TAK PERNAH PADAM<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0mDyDSgDfAnJWyRrofj0cK80KwQBGpXT0P_sSagE4VwF2EUO5bdKibEvFNDqTIGS6ZlSoYN92DbaII5X80cZq1nbG3Bl1_ibPYlvU0ay4Gr4Eq4ncg3iX0cxTFH0nstXhmLjBVhtFPkE/s1600-h/duka+12.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0mDyDSgDfAnJWyRrofj0cK80KwQBGpXT0P_sSagE4VwF2EUO5bdKibEvFNDqTIGS6ZlSoYN92DbaII5X80cZq1nbG3Bl1_ibPYlvU0ay4Gr4Eq4ncg3iX0cxTFH0nstXhmLjBVhtFPkE/s320/duka+12.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250518582805485538" border="0" /></a><i><span style="" lang="MS">ADA sebuah lilin di hidupku.</span></i><o:p></o:p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Jauh di dasar hati, di antara reruntuhan puing-puing bangunan peristiwa masa lalu, masih tersisa beberapa gerat-gerat perasaan yang masih jelas kurasakan. Aku tak berani menyisir kembali reruntuhan kenangan itu, karena gerat –gerat itu mampu menimbulkan getaran yang dahsyat di dasar hati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Kehidupan adalah sebuah lilin besar. Sumbunya adalah waktu yang menghubungkan masa lalu dengan hari ini. Parafin yang membungkus sumbu itu adalah hidup kita. Semakin banyak waktu yang berlalu, maka semakin tipis api waktu akan memakan hidup kita.<o:p></o:p></span></p> <h1 style="font-weight: normal;"><span style="" lang="MS">Ada sebuah lilin di hatiku<o:p></o:p></span></h1> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Lilin itu dinyalakan oleh seorang laki-laki. Laki-laki yang telah jauh sekali ku kenal. Waktu telah mengantarkan diriku untuk tidak lagi melihat laki-laki itu. Nyala api yang pernah disulutnya hingga kini tak pernah padam. Sekalipun, badai hatiku tak mampu meniup nyala itu, hujan batinku tak mampu memadamkan cahayanya. Hingga detik ini lilin itu tetap berdiri di hatiku dengan nyala kecil di atas sumbunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Simpanlah lilin ini dihatimu,” begitulah kata laki-laki yang memberikan lilin waktu itu sambil menggenggamkan sebuah lilin di tanganku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Aku tahu maksud laki-laki yang memberikan lilin adalah agar aku menerima cintanya, namun ia pasti sudah mempertimbangkan kemungkinan lain yang akan terjadi. Kemungkinan lain itulah yang telah menjadi kenyataan baginya. Aku tak bisa menerimanya karena kala itu aku masih terlalu muda untuk membagi perasaan dengan seorang laki-laki. Akupun patuh dengan kata-kata ayahku yang melarang keras diriku untuk pacaran karena masih duduk di bangku SMP.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ketika aku hendak mengembalikan lilin yang diberikannya waktu itu, ia menolaknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Jika kau tak bisa menyimpan lilin itu dihatimu, biarkanlah lacimu yang menyimpannya.” Kata laki-laki yang memberiku lilin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Anehnya aku tak bisa menolak menyimpan lilin itu. Apalah arti sebuah lilin, begitu pikirku kala itu. Mungkin juga karena alasan lain : aku tak ingin menyinggung perasaannya yang kedua kali., maka aku simpan saja lilin itu di laci kamar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Penolakan waktu itu ternyata tak pernah membuat jarak kami makin jauh. Justru kami makin dekat. Kami makin sering bertemu. Saling bercanda, layaknya kami adalah sepasang kekasih yang sedang dilanda sebuah badai asmara. Dahsyat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Suatu ketika lonceng berbunyi tiga kali, mendandakan sekolah telah usai. Pulang adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua teman-temanku, termasuk diriku. Bersama tiga sahabat dekatku, kami keluar kelas bersama-sama. Sungguh terkejut diriku ketika berada di tempat parkir. Aku melihat sepedaku dihias penuh dengan bunga. Teman-temanku saling memandangiku. Semua anak-anak yang berada di parkiran memperhatikanku juga. Dengan marah aku membuang bunga-bunga itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Hingga sampai di rumah, aku masih penasaran tentang orang yang melakukan itu pada sepedaku. Aku masih marah, tapi aku sendiri tak tahu siapa yang harus aku marahi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Esok harinya aku bertemu dengan laki-laki yang memberiku lilin. Ia datang padaku sambil membawa sebua lilin yang sama dengan sebelumnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bisakah kamu menaruh lilin ini di lacimu?” kata laki-laki yang memberiku lilin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Anehnya lagi, aku menerima lilin itu dengan tulus tanpa syarat. Laki-laki itupun pergi begitu saja setelah memberikan aku lilin yang sama dengan sebelumnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dan hari ini aku marah lagi seperti hari kemarin karena berbagai macam bunga membungkus sepedaku lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kalau berani keluar pengecut!” kataku waktu itu. Semua mata mengarah padaku. Aku tak peduli.Kedua temanku membantuku membersihakn sepedaku dan cepat-cepat pergi dari tempat parkir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="" lang="MS">Ada dua buah lilin di laciku.</span></i><span style="" lang="MS"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Siapapun yang menaruh bunga di sepedaku, dan jika aku mendapatinya,maka aku akan mematahkan kedua tangannya dan meremukkan jari-jarinya. Maka setengah jam sebelum pulang aku minta ijin guruku untuk ke belakang. Aku berlari menuju tempat parkir dan mataku tak lihat siapapun di sana. Pandangan kedua mataku jatuh kepada sepedaku yang terletak paling ujung dengan hiasan bunga beraneka warna. Aku membuang lagi bunga-bunga itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Keesokan harinya aku sengaja tak membawa sepeda. Hatiku tenang juga karena tidak perlu memikirkan lagi siapa yang memiliki tangan usil menaruh bunga-bunga di sepedaku. Ketika bel istirahat berdering aku menemui laki-laki yang memberiku lilin dan aku menceritakan kejadian itu kepadanya. Laki-laki yang memberiku lilin itu tak banyak bicara. Ceritaku sepertinya diremehkan. Ia memberiku lagi sebuah lilin<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Lilin-lilin di lacimu membutuhkan teman seorang lagi” kata laki-laki yang memberi lilin.<o:p></o:p></span></p> <h1 style="font-weight: normal;"><span style="" lang="MS">Ada tiga buah lilin di laciku<o:p></o:p></span></h1> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Malam ini sungguh tenang. Aku bebas dari belajar, mengerjakan tugas, dan merangkum fisika. Kubuka laciku, di sana aku melihat tiga buah lilin yang pernah diberikan oleh laki-laki yang gemar lilin. Lilin-lilin itu diam. Semakin aku mendekatkan jariku, semakin dekat bayangan laki-laki yang memberi lilin. Entah kenapa aku merindukan sedikit bicaranya, sedikit senyumnya. Karena ia laki-laki yang tak suka bicara, tidak suka tertawa, karena ia laki-laki yang memberi lilin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Malam makin kelam. Lilin-lilin itu tertidur bersamaku di genggaman tangan. Aku bermimpi tentang sesuatu bersama lilin-lilin itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Hari minggu adalah hari yang aku tunggu. Seperti malamnya, hari ini aku terlepas dari tugas, terbebas dari suasana kelas. Di hari minggu aku selalu membantu ibu di pasar menunggu kios. Aku tak tahu kemana perginya ibu. Tidak seperti biasanya, ibu pergi lama seperti ini. Biasanya ia hanya duduk-duduk di kios sebelah atau pergi ke tempat bu Toah di seberang sana. Sudah dua jam aku di sini menanti sendiri. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang memberiku lilin<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bolehkah aku memberikan sebuah lilin lagi untuk teman-teman lilin yang lain di laci?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Aku mengiyakan saja. Aku terima lagi sebuah lilin yang sama dengan lilin yang sebelumnya. Sepulang dari pasar aku menaruh lagi lilin itu di laci.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Sudah cukup tenang bagiku untuk membawa lagi sepeda. Di saat itulah muncul seorang laki-laki yang suka dengan bunga. Ia memberiku seikat bunga sambil mengatakan cintanya padaku. Ia mengaku yang melilitkan bunga-bunga di sepedaku. Aku hanya marah!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kenapa kau tolak laki-laki yang memberimu bunga?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku tak suka dengannya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kenapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku tak suka.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Apa yang kurang dengan laki-laki yang memberi bunga?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Tidak ada.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Lalu apa alasanmu menolaknya? Bukankah dia ganteng<i>? Cute</i>? Gaul? <i>Roman</i>? Apanya yang kurang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Cinta tak butuh hal-hal semacam itu”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Apa yang dibutuhkan cintamu? Pengorbanan? Kedewasaan? Atau keterikatan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Tidak ketiga-tiganya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kau punya laki-laki lain?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Aku mengangguk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Siapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Laki-laki yang aku sendiri belum tahu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Maksudmu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku tak tahu siapa yang aku cinta, tapi aku jatuh cinta dengannya. Aku jatuh untuk yang pertama kalinya. Aku menanggung rindu dendam dengan laki-laki yang aku belum tahu siapa dirinya. Setiap malam aku memikirkannya. Aku selalu menyebut laki-laki yang aku sendiri tak tahu siapa namanya. Aku berharap angin memberitakan ini kepada laki-laki yang aku cintai sedangkan aku sendiri tak pernah tahu siapa diri laki-laki itu”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Waktu adalah sumbu. Waktu adalah berlalu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Entah kenapa tiba-tiba pada suatu malam aku ingin sekali membuka laciku yang berisi lilin-lilin. Aku ingin sekali memandang dan menyentuhnya. Memeluknya. Meletakkan di depan bibirku. Pipiku. Mataku. Dadaku. Dan (hatiku).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Keesokan harinya aku bertemu dengan seorang laki-laki yang meberiku lilin. Ia hanya menyapaku dan tersenyum beku kepadaku. Aku balas senyuman beku itu, namun aku sendiri enggan mengartikan senyumku padanya. Selama pelajaran berlangsung, otakku <i>blank</i>. Aku tak tahu apa yang harus aku perbuat. Hingga bel berbunyi tiga kali, aku masih belum sadar apa yang mesti aku kerjakan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ketika aku menuju tempat parkir aku merasa terkejut, karena banyak bunga yang membungkus sepedaku. Aku ingin marah, tapi aku tak punya daya untuk marah, karena seorang laki-laki yang memberiku lilin ada di depanku. Ia membantuku membuang bunga-bunga itu ke tempat sampah. Berkali-kali ia minta maaf, sedang aku tak mengerti apa yang sedang ia perbuat hingga ia minta maaf.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Akulah yang menaruh bunga di sepedamu selama ini.” Katanya halus dan sopan. Aku makin bingung. Siapa sebenarnya yang menaruh bunga di sepedaku. Laki-laki yang memberi bunga atau diakah, laki-laki yang memberiku lilin? Aku pusing!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Di suatu pagi yang lain.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Laki-laki yang memberiku lilin akhirnya memberiku lilin yang terakhir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bisakah lilin yang satu ini kau taruh di hatimu?” katanya tanpa membawa lilin seperti sebelumnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Aku seperti tersihir. Aku terpelincir.Tenggelam di telaga yang dalam. Aku tak bisa muncul ke permukaan. Aku tak bisa mengelak. Tak bisa menolak. Nafasku sesak. Aku jatuh di dasar telaga laki-laki yang memberiku lilin sepanjang nyala sumbu hidupku hingga ke dasar tumpu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="" lang="MS">Ada sebuah lilin di hatiku.</span></i><span style="" lang="MS"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Keempat lilin yang pernah diberikan laki-laki yang memberi lilin sudah habis kunyalakan semua. Setiap malam menjelang tidur aku selalu menyalakn lilin itu satu demi satu. Malam ke malam. Hingga tiba suatu malam tinggallah sebuah lilin yang terakhir, sedangkan laki-laki yang memberiku lilin belum pernah kudengar kabarnya. Aku menyalakan lilin terakhir dan berharap esok pagi ketika bangun aku mendapatinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Semua adalah sia-sia. Aku tak punya lilin lagi untuk dinyalakan tiap malam. Malamku sudah terlalu gelap tanpa lilin-lilin itu. Namun, masih ada sebuah lilin yang masih menyala dan tak pernah bisa padam, yaitu sebuah lilin yang ditaruhnya di hatiku. Suatu malam angin mengabarkan bahwa laki-laki yang memberiku lilin ternyata tidak hanya menaruh lilin di hatiku saja, melainkan di hati perempuan-perempuan lain. Lilin di hatiku hampir padam ketika aku mencoba menguburnya dalam-dalam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Ibu…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dia adalah anak pertamaku., Andris Setyawan. Sudah tiga tahun yang lalu aku menikah dengan seorang laki-laki yang kukenal di kampusku. Aku mencintainya. Ia juga mencintaiku. Hingga cinta kami telah membuahkan Andris.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Suamiku sangat sayang kepada anakku. Mereka baru saja jalan-jalan di taman. Berlari-lari mengejar Eno, nama kucing kami.. Tiba-tiba hp di meja berdering. Sebuah nomor baru muncul.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Masihkah lilin itu menyala di hatimu? (Andris Setyawan)”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Aku tertegun menatap layar hpku. Laki-laki yang pernah memberiku lilin mencoba menyulut kembali lilin yang baginya sudah mati. Dengan segera aku menghapus sms tersebut. Aku menghapiri suamiku dan anakku. Kami bercanda bersama-sama di atas sofa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="" lang="MS">Masih ada sebuah lilin yang menyala di hatiku.</span></i><span style="" lang="MS"><o:p></o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-59228193352944233262008-09-26T19:02:00.000-07:002008-09-26T19:05:31.257-07:00LELAKI YANG MENANGKAP RAMBULAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZn3sF9eazxFUOT9JomEa-L_u3oQhCabltiuujCATVTpUCpujj13RjG7fC-DBMg_ef73BoTIqO_MCchrrgh3OR8ksKWtdro417CtA7ZlzjLkj2hhlkORVP-zGhyphenhyphenDy8ZxKZ3KAjeolqHHg/s1600-h/duka+11.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 267px; height: 201px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZn3sF9eazxFUOT9JomEa-L_u3oQhCabltiuujCATVTpUCpujj13RjG7fC-DBMg_ef73BoTIqO_MCchrrgh3OR8ksKWtdro417CtA7ZlzjLkj2hhlkORVP-zGhyphenhyphenDy8ZxKZ3KAjeolqHHg/s320/duka+11.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250516190835463250" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><strong><span style="" lang="MS"><br /></span></strong><span style="" lang="MS"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">IA DUDUK di atas batu besar. Hanya dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada, dan sehelai sarung yang diselempangkan ke bahu. Dingin angin malam, gesekan daun dengan ranting kering sama sekali tak dihiraukan. Wajahnya legam menengadah ke langit memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan. Tangan kanannya memegang erat sebuah jaring.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Laki-laki itu meloncat dari batu besar tempat duduknya. Cahaya bulan melukis bayangan sesosok lelaki di atas tanah. Bayangannya lebih pendek dari tubuh aslinya. Ia hanya setinggi satu setengah meter. Kepala bulatnya tersangga leher tembem di atas tubuhnya yang <em>lemu</em>. Ia selalu membuat gerakan mematahkan leher ke arah kanan. Orang-orang desa menyebutnya <em>pendono</em> - kebiasaan buruk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Sepasang kaki telanjang berlari di atas tanah. Tangan kanannya menggapai-gapai ke langit dengan jaring yang dipegang erat. Semakin kencang ia berlari, semakin cepat bulan menghidar dari jaringnya. Ketika ia menghentikan langkah sepasang kaki telanjangnya, bulan sebentuk perahu itu ikut berhenti dan memandang ke arahnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bulan,” seru lelaki pendek sambil terengah-engah “suatu hari aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">LELAKI pendek itu tinggal bersama seorang perempuan tua yang melahirkan lelaki pendek: Poyo. Tidak ada arti khusus, mengapa perempuan itu memberi nama sependek tubuh anaknya. Yang ia tahu lelaki yang tumbuh dengan air susunya itu memiliki arti yang istimewa baginya, walaupun ia memiliki kelainan fisik dan mental.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dalam melewati hari, mereka hidup di sebuah rumah berdinding bambu. Untuk keperluan makan sehari-hari ibunya harus <em>mengasak </em>padi di sawah yang baru saja disiangi. Walaupun demikian perempuan itu tak pernah meratapi hidup dengan kesedihan. Dirinya selalu menterjemahkan segala penderitaan tentu akan memiliki akhir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Beberapa hari yang lalu dirinya dipanggil oleh Marsudi untuk tanda tangan. Kata Marsudi, orang miskin seperti dirinya akan mendapatkan sepetak <em>tegal</em>. Tegal yang sekarang ditanami <em>morbei</em> oleh perhutani sesungguhnya adalah tanah milik tetua desa pada zaman Belanda. Bukti itu ada di Supiran, untuk mendapatkan hak <em>tegal </em>dirinya bersama beberapa orang harus menandatangani surat perjanjian, begitulah terang Marsudi kepadanya. Ia <em>manut</em> saja, <em>lha wong</em> banyak tetangganya yang ikut juga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Poyo pasti dapat menangkap bulan” kata lelaki pendek sambil mengangkat kedua bahunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kalau makan jangan banyak <em>omong</em>”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Tapi Poyo ingin telur rebus.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Sudah, makan saja sambal dan nasinya itu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Poyo mau tangkap bulan!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bulan itu tak bisa ditangkap. Sudah, habiskan nasimu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Biar!” Poyo berdiri kemudian mengambil jaring yang menyelempit di dinding bambu ”Pokoknya Poyo mau tangkap bulan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Poyo, kembali!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Lelaki pendek itu tak menghiraukan perkataan ibunya. Perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang nasi Poyo di alumunium yang tak disentuhnya sama sekali. Apabila anaknya berlaku seperti itu ia tak bisa melarangnya. Ia tahu benar bahwa tak lama lagi anaknya akan kembali dengan wajah yang murung kemudian menyusul tidur disampingnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">SAMBIL mengayunkan jaringnya ke atas, lelaki itu berlari mengejar bulan. Bayangan tubuhnya yang tergambar di bingkai tanah selalu menemani dirinya berlari. Semakin cepat ia berlari, maka semakin cepat pula bulan menghindar dari pandangannya. Kemudian dengan nafas terengah-engah akan menyumpahi bulan di atas sana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Dengarkan aku,” kata lelaki itu sambil terus menatap bulan “aku pasti bisa menangkapmu suatu saat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Lelaki itu meloncat dari batu berjalan menuju rumah Pak Haji Rahman. Dirinya suka menatap wajah Diyanti, putri pak haji, dari balik pohon jambu karena wajahnya memendar di kegelapan bagai rembulan sebentuk belahan semangka. Apalagi ketika ia melihat Diyanti memakai kerudung ketika pulang <em>ngaji</em>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Malam ini ia harus membiarkan bulannya tetap mengapung jauh di langit kelam. Setelah menyelempitkan jaringnya di dinding bambu, ia perhatikan ibunya yang tengah tertidur di balai bambu. Di sampingnya ada sebuah meja dengan <em>ublik</em> yang menyala redup karena minyak tanahnya hampir kering. Ia menyusul tidur di samping ibunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">SIANG itu Poyo bersama ibunya menyusuri tegal yang telah diterimanya dari Tim Sukses. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sudikun, anggota Tim Sukses, menjelaskan kepadanya bahwa <em>tegal</em> itu sudah menjadi hak milik warga desa. Uang yang telah dikumpulkan dalam buntalan kain yang tersimpan di bawah bantal itu kini telah menjadi batang-batang jagung yang tumbuh di <em>tegal</em> miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Perempuan itu tersenyum melihat usia jagung yang telah lewat satu bulan. Ia melihat tunas-tunas daun hijau tumbuh di batangnya. Dua bulan kedepan ia pasti sudah dapat memetik jagung yang tumbuh di tanah tegal miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Perempuan itu juga masih ingat kata-kata Marsudi ketika ia menandatangani surat perjanjian sambil menyerahkan beberapa puluh rupiah, yang kata mereka untuk administrasi, bahwa apapun nanti yang akan terjadi dirinya harus tetap menanam di <em>tegal</em>, walaupun perhutani melarangnya. <em>Tegal </em>ini sudah menjadi milik warga dan untuk urusan sertifikat masih dalam proses pengadilan, tambah lelaki yang menjadi ketua Tim Sukses.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ketika ia menatap tanah seluas puluhan hektar, ia teringat kembali penjelasan Tim Sukses bahwa dirinya bersama warga lain akan mendapatkan lagi jumlah yang lebih banyak dari sekarang. Asalkan warga mau mendukung kegiatannya, maka tak lama <em>tegal </em>itu akan menjadi milik mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dirinya sangat bersyukur bahwa Allah telah memberikan rejeki yang cukup baginya. Kebahagiaan ini telah menambah keyakinannya bahwa Allah menyayangi hambanya yang sabar dan berusaha. Allah akan memberikan rejeki pada saat yang tak pernah diduga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ia tak mempersoalkan seperti sebagian warga yang benci perhutani. Asal dia bisa menggarap tegal, baginya sudah lebih dari cukup, tak perlulah memusuhi perhutani yang kata sebagian warga adalah pemeras rakyat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Semalam, Marsudi datang kembali ke rumahnya dan ke beberapa tetangga menjelaskan bahwa sertifikat <em>tegal</em> belum bisa jadi. Tim Sukses harus segera ke pengadilan pusat untuk mengalahkan pihak perhutani yang tak mau melepas <em>tegal</em>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Perempuan itu sudah tahu bahwa dirinya harus menyerahkan uang lagi untuk urusan pengadilan. Kali ini Marsudi meminta sejumlah seratus limapuluh per orang, ia tak punya uang sebanyak itu. Namun, Marsudi adalah orang baik dalam pikirannya karena kekurangan itu dapat dicicil di kemudian hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Seorang tetangga di <em>tegal</em> lari ke arahnya dengan tergesa-gesa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kita harus <em>mbantu</em> Tim Sukses demo di pengadilan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Sekarang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dengan sepasang kaki telanjang perempuan itu mengajak anaknya untuk segera pulang, karena dirinya harus ikut tetangga untuk ke pengadilan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">POYO menatap jagung yang dulu ditanamnya, kini telah dilindas-tuntas oleh sebuah mesin besi. Rata dengan tanah. Warga desa yang pernah menanam di <em>tegal</em> menatap haru tanaman mereka. Kebencian, kemarahan, bingung, ketakberdayaan, dan kepasrahan tampak di wajah petani-petani desa yang kini menundukkan kepala menatap tanah. Beberapa puluh polisi berada di sana, juga seseorang pemuda yang mengarahkan sebuah kamera. Anak-anak tersenyum sambil bergaya, seolah mereka akan masuk tv. Seorang polisi tengah berbicara di depan mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bapak-bapak dan ibu-ibu apa yang telah kalian lakukan itu adalah melanggar hukum. <em>Tegal</em> ini adalah milik pemerintah. Sebenarnya pemerintah bersama masyarakat menggarap <em>tegal </em>ini dalam program PHBN. Penggarapan Hutan Bersama Negara. Masyarakat punya hak <em>garap</em> bukan hak jual seperti yang telah dijanjikan oleh Tim Sukses. Apalagi mau menandatangani pernyataan kalau saudara-saudara telah menggarap <em>tegal</em> ini selama 40 tahun. Itu namanya penipuan. Seharusnya bapak dan ibu menolak memberikan dana Tim Sukses untuk menuntut perhutani di pengadilan. Itu pelanggaran kepada negara dan hukumannya berat. Perhutani akan mengganti tanaman yang kini <em>dibabat</em>. Pada saatnya nanti saudara-saudara sekalian juga akan diberi hak garap <em>tegal</em> sesuai dengan jatah masing-masing.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">BULAN sebentuk perahu masih mengapung di langit malam. Bagaimana dirinya yang kecil ini bisa terbang, memetiknya, dan memasukkan ke dalam jaring. Poyo berfikir sambil memandangi bulan di atas batu besar. Kepalanya bergerak melukis wajah bulan. Ia teringat perkataan ibunya sebelum dirinya meninggalkan rumah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kamu tak usah sedih seperti itu, kita musti bersyukur apa yang diberikan Allah untuk kita. Mulai minggu depan kita bisa menanam lagi di <em>tegal</em>. Tadi pak RT <em>ngasih</em> kartu garap kepada emak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Laki-laki itu mengangkat jaringnya dan mengarahkan ke wajah bulan, seolah-olah bulan itu benar-benar masuk ke dalam jaringnya. Ia melonjak-lonjak di atas batu dan berteriak kegirangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku berhasil, aku berhasil. Sudah aku katakan aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang bulan yang baru saja masuk ke dalam jaringnya. Namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya. Wajahnya kembali muram, dan ia duduk lagi di atas batu besar sambil memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><strong><span style="" lang="MS">Lelaki yang Menangkap Rembulan</span></strong><span style="" lang="MS"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">IA DUDUK di atas batu besar. Hanya dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada, dan sehelai sarung yang diselempangkan ke bahu. Dingin angin malam, gesekan daun dengan ranting kering sama sekali tak dihiraukan. Wajahnya legam menengadah ke langit memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan. Tangan kanannya memegang erat sebuah jaring.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Laki-laki itu meloncat dari batu besar tempat duduknya. Cahaya bulan melukis bayangan sesosok lelaki di atas tanah. Bayangannya lebih pendek dari tubuh aslinya. Ia hanya setinggi satu setengah meter. Kepala bulatnya tersangga leher tembem di atas tubuhnya yang <em>lemu</em>. Ia selalu membuat gerakan mematahkan leher ke arah kanan. Orang-orang desa menyebutnya <em>pendono</em> - kebiasaan buruk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Sepasang kaki telanjang berlari di atas tanah. Tangan kanannya menggapai-gapai ke langit dengan jaring yang dipegang erat. Semakin kencang ia berlari, semakin cepat bulan menghidar dari jaringnya. Ketika ia menghentikan langkah sepasang kaki telanjangnya, bulan sebentuk perahu itu ikut berhenti dan memandang ke arahnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bulan,” seru lelaki pendek sambil terengah-engah “suatu hari aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">LELAKI pendek itu tinggal bersama seorang perempuan tua yang melahirkan lelaki pendek: Poyo. Tidak ada arti khusus, mengapa perempuan itu memberi nama sependek tubuh anaknya. Yang ia tahu lelaki yang tumbuh dengan air susunya itu memiliki arti yang istimewa baginya, walaupun ia memiliki kelainan fisik dan mental.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dalam melewati hari, mereka hidup di sebuah rumah berdinding bambu. Untuk keperluan makan sehari-hari ibunya harus <em>mengasak </em>padi di sawah yang baru saja disiangi. Walaupun demikian perempuan itu tak pernah meratapi hidup dengan kesedihan. Dirinya selalu menterjemahkan segala penderitaan tentu akan memiliki akhir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Beberapa hari yang lalu dirinya dipanggil oleh Marsudi untuk tanda tangan. Kata Marsudi, orang miskin seperti dirinya akan mendapatkan sepetak <em>tegal</em>. Tegal yang sekarang ditanami <em>morbei</em> oleh perhutani sesungguhnya adalah tanah milik tetua desa pada zaman Belanda. Bukti itu ada di Supiran, untuk mendapatkan hak <em>tegal </em>dirinya bersama beberapa orang harus menandatangani surat perjanjian, begitulah terang Marsudi kepadanya. Ia <em>manut</em> saja, <em>lha wong</em> banyak tetangganya yang ikut juga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Poyo pasti dapat menangkap bulan” kata lelaki pendek sambil mengangkat kedua bahunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kalau makan jangan banyak <em>omong</em>”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Tapi Poyo ingin telur rebus.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Sudah, makan saja sambal dan nasinya itu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Poyo mau tangkap bulan!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bulan itu tak bisa ditangkap. Sudah, habiskan nasimu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Biar!” Poyo berdiri kemudian mengambil jaring yang menyelempit di dinding bambu ”Pokoknya Poyo mau tangkap bulan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Poyo, kembali!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Lelaki pendek itu tak menghiraukan perkataan ibunya. Perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang nasi Poyo di alumunium yang tak disentuhnya sama sekali. Apabila anaknya berlaku seperti itu ia tak bisa melarangnya. Ia tahu benar bahwa tak lama lagi anaknya akan kembali dengan wajah yang murung kemudian menyusul tidur disampingnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">SAMBIL mengayunkan jaringnya ke atas, lelaki itu berlari mengejar bulan. Bayangan tubuhnya yang tergambar di bingkai tanah selalu menemani dirinya berlari. Semakin cepat ia berlari, maka semakin cepat pula bulan menghindar dari pandangannya. Kemudian dengan nafas terengah-engah akan menyumpahi bulan di atas sana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Dengarkan aku,” kata lelaki itu sambil terus menatap bulan “aku pasti bisa menangkapmu suatu saat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Lelaki itu meloncat dari batu berjalan menuju rumah Pak Haji Rahman. Dirinya suka menatap wajah Diyanti, putri pak haji, dari balik pohon jambu karena wajahnya memendar di kegelapan bagai rembulan sebentuk belahan semangka. Apalagi ketika ia melihat Diyanti memakai kerudung ketika pulang <em>ngaji</em>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Malam ini ia harus membiarkan bulannya tetap mengapung jauh di langit kelam. Setelah menyelempitkan jaringnya di dinding bambu, ia perhatikan ibunya yang tengah tertidur di balai bambu. Di sampingnya ada sebuah meja dengan <em>ublik</em> yang menyala redup karena minyak tanahnya hampir kering. Ia menyusul tidur di samping ibunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">SIANG itu Poyo bersama ibunya menyusuri tegal yang telah diterimanya dari Tim Sukses. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sudikun, anggota Tim Sukses, menjelaskan kepadanya bahwa <em>tegal</em> itu sudah menjadi hak milik warga desa. Uang yang telah dikumpulkan dalam buntalan kain yang tersimpan di bawah bantal itu kini telah menjadi batang-batang jagung yang tumbuh di <em>tegal</em> miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Perempuan itu tersenyum melihat usia jagung yang telah lewat satu bulan. Ia melihat tunas-tunas daun hijau tumbuh di batangnya. Dua bulan kedepan ia pasti sudah dapat memetik jagung yang tumbuh di tanah tegal miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Perempuan itu juga masih ingat kata-kata Marsudi ketika ia menandatangani surat perjanjian sambil menyerahkan beberapa puluh rupiah, yang kata mereka untuk administrasi, bahwa apapun nanti yang akan terjadi dirinya harus tetap menanam di <em>tegal</em>, walaupun perhutani melarangnya. <em>Tegal </em>ini sudah menjadi milik warga dan untuk urusan sertifikat masih dalam proses pengadilan, tambah lelaki yang menjadi ketua Tim Sukses.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ketika ia menatap tanah seluas puluhan hektar, ia teringat kembali penjelasan Tim Sukses bahwa dirinya bersama warga lain akan mendapatkan lagi jumlah yang lebih banyak dari sekarang. Asalkan warga mau mendukung kegiatannya, maka tak lama <em>tegal </em>itu akan menjadi milik mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dirinya sangat bersyukur bahwa Allah telah memberikan rejeki yang cukup baginya. Kebahagiaan ini telah menambah keyakinannya bahwa Allah menyayangi hambanya yang sabar dan berusaha. Allah akan memberikan rejeki pada saat yang tak pernah diduga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ia tak mempersoalkan seperti sebagian warga yang benci perhutani. Asal dia bisa menggarap tegal, baginya sudah lebih dari cukup, tak perlulah memusuhi perhutani yang kata sebagian warga adalah pemeras rakyat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Semalam, Marsudi datang kembali ke rumahnya dan ke beberapa tetangga menjelaskan bahwa sertifikat <em>tegal</em> belum bisa jadi. Tim Sukses harus segera ke pengadilan pusat untuk mengalahkan pihak perhutani yang tak mau melepas <em>tegal</em>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Perempuan itu sudah tahu bahwa dirinya harus menyerahkan uang lagi untuk urusan pengadilan. Kali ini Marsudi meminta sejumlah seratus limapuluh per orang, ia tak punya uang sebanyak itu. Namun, Marsudi adalah orang baik dalam pikirannya karena kekurangan itu dapat dicicil di kemudian hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Seorang tetangga di <em>tegal</em> lari ke arahnya dengan tergesa-gesa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kita harus <em>mbantu</em> Tim Sukses demo di pengadilan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Sekarang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dengan sepasang kaki telanjang perempuan itu mengajak anaknya untuk segera pulang, karena dirinya harus ikut tetangga untuk ke pengadilan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">POYO menatap jagung yang dulu ditanamnya, kini telah dilindas-tuntas oleh sebuah mesin besi. Rata dengan tanah. Warga desa yang pernah menanam di <em>tegal</em> menatap haru tanaman mereka. Kebencian, kemarahan, bingung, ketakberdayaan, dan kepasrahan tampak di wajah petani-petani desa yang kini menundukkan kepala menatap tanah. Beberapa puluh polisi berada di sana, juga seseorang pemuda yang mengarahkan sebuah kamera. Anak-anak tersenyum sambil bergaya, seolah mereka akan masuk tv. Seorang polisi tengah berbicara di depan mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Bapak-bapak dan ibu-ibu apa yang telah kalian lakukan itu adalah melanggar hukum. <em>Tegal</em> ini adalah milik pemerintah. Sebenarnya pemerintah bersama masyarakat menggarap <em>tegal </em>ini dalam program PHBN. Penggarapan Hutan Bersama Negara. Masyarakat punya hak <em>garap</em> bukan hak jual seperti yang telah dijanjikan oleh Tim Sukses. Apalagi mau menandatangani pernyataan kalau saudara-saudara telah menggarap <em>tegal</em> ini selama 40 tahun. Itu namanya penipuan. Seharusnya bapak dan ibu menolak memberikan dana Tim Sukses untuk menuntut perhutani di pengadilan. Itu pelanggaran kepada negara dan hukumannya berat. Perhutani akan mengganti tanaman yang kini <em>dibabat</em>. Pada saatnya nanti saudara-saudara sekalian juga akan diberi hak garap <em>tegal</em> sesuai dengan jatah masing-masing.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">BULAN sebentuk perahu masih mengapung di langit malam. Bagaimana dirinya yang kecil ini bisa terbang, memetiknya, dan memasukkan ke dalam jaring. Poyo berfikir sambil memandangi bulan di atas batu besar. Kepalanya bergerak melukis wajah bulan. Ia teringat perkataan ibunya sebelum dirinya meninggalkan rumah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kamu tak usah sedih seperti itu, kita musti bersyukur apa yang diberikan Allah untuk kita. Mulai minggu depan kita bisa menanam lagi di <em>tegal</em>. Tadi pak RT <em>ngasih</em> kartu garap kepada emak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Laki-laki itu mengangkat jaringnya dan mengarahkan ke wajah bulan, seolah-olah bulan itu benar-benar masuk ke dalam jaringnya. Ia melonjak-lonjak di atas batu dan berteriak kegirangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku berhasil, aku berhasil. Sudah aku katakan aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang bulan yang baru saja masuk ke dalam jaringnya. Namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya. Wajahnya kembali muram, dan ia duduk lagi di atas batu besar sambil memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan.<o:p></o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-6953001698693887262008-09-26T18:49:00.000-07:002008-09-26T18:57:23.330-07:00ELEGI<span style="font-weight: bold;font-family:arial;font-size:100%;" ><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk1S99Lq66gh0KWGvjQOXPwf5Jplt9Vmw87Oj1nsQbwbhgHbs_qV52aNJg1c-dDRRYc7kEzT_Ytdhq7gF6OWREyJsYSegjHI9Gg862HEXGAV02uElz1vWVqjXfT-L-v6hHxRR3Xr1ubTY/s1600-h/bunga+2.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 195px; height: 146px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk1S99Lq66gh0KWGvjQOXPwf5Jplt9Vmw87Oj1nsQbwbhgHbs_qV52aNJg1c-dDRRYc7kEzT_Ytdhq7gF6OWREyJsYSegjHI9Gg862HEXGAV02uElz1vWVqjXfT-L-v6hHxRR3Xr1ubTY/s320/bunga+2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250513161278640754" border="0" /></a><br /></span><span style="font-weight: bold;font-family:arial;font-size:100%;" lang="MS" ><span style=""> </span><span style="font-family: times new roman;">“JAWAB! Jangan diam!”</span><o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun, asalkan kau mengizinkanku menyisir helai rambut yang tergerai di pipimu, walau sekali saja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Jangan berpura-pura mampus!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Bibir beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Ayo mengaku!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah kau izinkan diriku menyisir rambut di pipimu. Walau itu sekali. Hanya sekali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Mulut beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku dengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;" align="center"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Zuliana Arlianadinata. Panggil saja Ana”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Beruntunglah dirimu. Perempuan itu menyambut tanganmu sambil menyebutkan namanya. Aku tak pernah menduga, bahwa perempuan yang tak satupun lelaki berhasil mendekatinya telah menyambut tanganmu dan memberikan senyum itu padamu. Dan jika kau tahu, setiap senti senyumnya berarti satu inchi lukaku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Luka itu makin menganga ketika aku tahu dirimu berhasil mengajaknya pergi ke tempat kesukaannya: laut. Lagi-lagi kau membuat sayatan luka baru di jantungku dengan pisau karatmu. Dan kata-kata manis perempuan itu, tak lain adalah garam yang ditabur di atas luka sayatanmu. Kenapa perempuan itu tak mengenali wajah iblis di balik wajahmu!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Tutup matamu”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Itulah perkataan srigalamu kepada perempuan yang kini menuruti setiap perkataanmu. Lantas, kau menutup sepasang mata perempuan itu dengan kain. Aku tahu kau akan memberinya suatu kejutan. Tapi seandainya aku membawa senapan, tentu aku akan membuatmu terkejut terlebih dulu dengan menembak isi di kepalamu agar otak kotormu itu diketahui oleh perempuan yang lebih pantas bersamaku dari pada bersamamu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kau yakin sudah tidak dapat melihatnya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Perempuan itu menggeleng. Aku iri melihat sepasang tanganmu ketika menutup sepasang mata perempuan itu. Kau diizinkan membelai rambut panjangnya. Kau menatap perempuan itu, seolah kau adalah serigala yang telah memenangkan perburuan. Ah, dengan apa aku harus mengatakan kepadamu, Ana, bahwa lelaki yang bersamamu adalah lelaki serigala? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Angin yang kutitipi perasaan ini, hanya menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh deburan ombak yang menghantam karang. Lalu dijawab oleh kepakan burung yang mendaki senja di depannya. Haruskan aku muncul tiba-tiba menghunuskan belati ke lelaki berengsek itu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Sekarang buka matamu”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Seharusnya hatimu terbuka Ana. Seharusnya kau melihat sejati dari lelaki itu. Tetapi kenyataannya kau justru tersenyum simpul ketika lelaki itu berjongkok di depanmu sambil membawa sekuntum kembang. Ombak menari-nari sambil bertepuk tangan. Burung-burung yang pulang menyempatkan diri untuk menatap kalian. Sedang senja pura-pura menjadi lelaki tua bijak yang melihat percintaan kalian. Sebagai perempuan, hatimu telah tercuri. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Menikahlah denganku. Kalungkan kain itu di kepalaku jika kau menerimaku, tetapi jika tidak buanglah kain itu ke laut”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Jantungku berdetak lebih keras. Belati yang kugenggam tidak lagi dapat berdiam diri. Ia menjadi teman setiaku. Dialah yang bersedia menusuk jantung yang berdetak menunggu jawaban perempuan itu lalu kulempar ke laut. Tapi, lagi-lagi aku tak mampu melakukannya. Aku memang ditakdirkan hanya bisa melihat dan diam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Kau masih terdiam, Ana. Dan itulah yang menjadikan lelaki berfikir bahwa perempuan adalah lautan misteri. Tak habis dilayari dan diselami. Entah apa yang berada di dalam pikiranmu sekarang. Deburan ombak mempercepat gelap. Segenap hatiku mengelam ketika kau mengalungkan kain itu di leher lelaki biadab itu!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Dan pada suatu hari kulihat kau mengalungkan untaian melati lagi di leher lelaki bejat itu di atas pelamin. Suara gamelan bertalu-talu menjadi tombak yang menancap di dadaku. Belati yang kini di genggaman tanganku telah membisikkan kepadaku untuk segera menghunus lelakimu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Dadaku menahan gemuruh, Ana. Kutancapkan saja pisauku di batang pohon, seolah aku telah menancapkannya tepat dijantung lelakimu. Aku memutuskan berlari pulang ketika kulihat cahaya lampu menggambar sepasang bayang yang saling memagut di balik jendela yang tertutup kelambu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Sudah lama menunggu ya, papa tidak bisa menjemput Nina hari ini” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Wajah gadis itu benar-benar mirip dengan wajahmu Ana. Sepasang mata itu benar-benar sepasang matamu yang telah kau wariskan, tetapi aku melihat ada darah lelaki bejat yang mengalir dalam detak jantung gadis itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kenapa papa selalu ingkar janji”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Kujelaskan kepada anakmu bahwa dirimu sedang ada pekerjaan penting mendadak. Tetapi, ketahuilah wahai lelaki bangsat, sesungguhnya diriku telah menanamkan bom waktu di otak anakmu. Suatu saat pasti akan meledak. Ha ha ha.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Aku benci dengan papa!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Ha ha ha. Ingin rasanya aku terus tertawa. Tetapi di wajahnya, aku menatap seberkas keteduhan yang pernah di wariskan oleh ibunya. Kenapa darah yang mengalir dalam tubuhnya bukan darahku dan darahmu, Ana. Kenapa jantung lelaki bejat itu yang mengalirkan darahmu, Ana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Kecemburuanku ini seperti telah memaksaku untuk segera menyulut bom waktu di hati anakmu ini. Ingin kukatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah serigala bejat yang menjelama menjadi seorang lelaki yang kini berpura-pura berperan menjadi ayah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Sebenarnya aku sering melihat pertengkaran orang tuamu, Nina. Kalaupun aku hanya seorang sopir pribadi ayahmu, justru itulah aku tahu banyak tentang kebejatan ayahmu. Kemana ia habiskan malamnya, aku tahu. Alasannya ke luar kota dengan mengajakku adalah hanya alasan untuk mengelabuhi ibumu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Entah sudah berapa puluh keperawanan perempuan sudah ia beli dengan uangnya. Entah sudah berapa puluh kali kelaminnya singgah di gubug-gubug murah perempuan. Entahlah, Nina. Tetapi, ketika ingin kusulut bom yang telah kutanam dalam otakmu, aku tak sanggup melakukannya. Keteduhan wajah yang diwariskan ibumu telah meredam badai amarahku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Sesaat ketika kita sampai di rumah, aku tak bermaksud untuk memperlihatkan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibumu. Tetapi takdir tak bisa menutupi apa yang sudah disembunyikan oleh waktu. Dan kau memilih tidur di kamarku dari pada melihat orang tuamu. Aku membelaimu seperti aku membelai anakku sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kau lelaki yang tak tahu malu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Akhirnya suatu hari ibumu telah mendengar bisik yang kutitipkan angin. Begitulah seharusnya ibumu, ia tidak diam ketika ia melihat adanya ketimpangan. Aku melihat sorot tajam ibumu. Aku melihat badai dalam bibir ibumu yang siap meluluhlantakkan setiap tipu daya ayahmu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Nina, saat kau terlelap, ayahmu telah berubah menjadi serigala. Alasan-alasan ayahmu tak dapat menjawab semua logika ibumu. Ayahmu hanya bisa menjawab logika ibumu dengan sebuah tamparan. Tak puas dengan tamparannya, ia memukul ibumu. Lantas, membanting tubuh ibumu lalu pergi entah kemana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Saat itulah, aku menyentuh kulit ibumu yang pertama kali ketika membaringkan tubuh yang makin kurus itu. Membenahi rambut panjangnya yang tergerai di pipinya. Ingin rasanya aku menggantikan ayahmu untuk menemani ibumu. Sejak malam itulah ibumu lebih suka mencurahkan isi hatinya kepadaku. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Sayang sekali, ayahmu telah mencium hubunganku dengan ibumu. Suatu kali aku tak dapat menghidari pertengkaranku dengan ayahmu. Tetapi ayahmu adalah iblis yang nafasnya adalah hembusan amarah. Hingga pada suatu perkelahian ayahmu mengayunkan sesuatu yang membuat sepasang mataku gelap dan aku tak berdaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kau yang selama ini meniduri istriku bukan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Saat kusadar, kudapati diriku terkapar dengan tangan terikat. Aku menatap wajah ayahmu dengan sisa tenagaku. Ayahmulah yang mengayunkan cemeti itu ke tubuhkku. Sepasang mataku hanya mencari kemana perginya dirimu dan ibumu, tapi tak pernah kutahu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Jawab! Jangan diam!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Jangan berpura-pura mampus!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Bibir ayahmu yang beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Ayo mengaku!”<o:p></o:p></span></p> <p style="font-weight: bold;font-family:arial;" class="MsoBodyText"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah ibumu mengizinkan diriku menyisir rambut di pipinya. Walau itu sekali. Hanya sekali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Mulut ayahmu yang beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku mendengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Entah ini halusinasi atau kenyataan, ibumu menangis di samping gerobak yang di dorong oleh perawat. Sebelum pintu kamar operasi ini di tutup aku melihat wajahmu duhai gadis manis. Memeluk ibumu. Setelah itu, yang tersisa hanya gelap.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;"><br /><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">LELAKI pendek itu tinggal bersama seorang perempuan tua yang melahirkan lelaki pendek: Poyo. Tidak ada arti khusus, mengapa perempuan itu memberi nama sependek tubuh anaknya. Yang ia tahu lelaki yang tumbuh dengan air susunya itu memiliki arti yang istimewa baginya, walaupun ia memiliki kelainan fisik dan mental.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Dalam melewati hari, mereka hidup di sebuah rumah berdinding bambu. Untuk keperluan makan sehari-hari ibunya harus <em>mengasak </em>padi di sawah yang baru saja disiangi. Walaupun demikian perempuan itu tak pernah meratapi hidup dengan kesedihan. Dirinya selalu menterjemahkan segala penderitaan tentu akan memiliki akhir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Beberapa hari yang lalu dirinya dipanggil oleh Marsudi untuk tanda tangan. Kata Marsudi, orang miskin seperti dirinya akan mendapatkan sepetak <em>tegal</em>. Tegal yang sekarang ditanami <em>morbei</em> oleh perhutani sesungguhnya adalah tanah milik tetua desa pada zaman Belanda. Bukti itu ada di Supiran, untuk mendapatkan hak <em>tegal </em>dirinya bersama beberapa orang harus menandatangani surat perjanjian, begitulah terang Marsudi kepadanya. Ia <em>manut</em> saja, <em>lha wong</em> banyak tetangganya yang ikut juga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Poyo pasti dapat menangkap bulan” kata lelaki pendek sambil mengangkat kedua bahunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kalau makan jangan banyak <em>omong</em>”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Tapi Poyo ingin telur rebus.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Sudah, makan saja sambal dan nasinya itu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Poyo mau tangkap bulan!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Bulan itu tak bisa ditangkap. Sudah, habiskan nasimu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Biar!” Poyo berdiri kemudian mengambil jaring yang menyelempit di dinding bambu ”Pokoknya Poyo mau tangkap bulan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Poyo, kembali!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Lelaki pendek itu tak menghiraukan perkataan ibunya. Perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang nasi Poyo di alumunium yang tak disentuhnya sama sekali. Apabila anaknya berlaku seperti itu ia tak bisa melarangnya. Ia tahu benar bahwa tak lama lagi anaknya akan kembali dengan wajah yang murung kemudian menyusul tidur disampingnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">SAMBIL mengayunkan jaringnya ke atas, lelaki itu berlari mengejar bulan. Bayangan tubuhnya yang tergambar di bingkai tanah selalu menemani dirinya berlari. Semakin cepat ia berlari, maka semakin cepat pula bulan menghindar dari pandangannya. Kemudian dengan nafas terengah-engah akan menyumpahi bulan di atas sana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Dengarkan aku,” kata lelaki itu sambil terus menatap bulan “aku pasti bisa menangkapmu suatu saat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Lelaki itu meloncat dari batu berjalan menuju rumah Pak Haji Rahman. Dirinya suka menatap wajah Diyanti, putri pak haji, dari balik pohon jambu karena wajahnya memendar di kegelapan bagai rembulan sebentuk belahan semangka. Apalagi ketika ia melihat Diyanti memakai kerudung ketika pulang <em>ngaji</em>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Malam ini ia harus membiarkan bulannya tetap mengapung jauh di langit kelam. Setelah menyelempitkan jaringnya di dinding bambu, ia perhatikan ibunya yang tengah tertidur di balai bambu. Di sampingnya ada sebuah meja dengan <em>ublik</em> yang menyala redup karena minyak tanahnya hampir kering. Ia menyusul tidur di samping ibunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">SIANG itu Poyo bersama ibunya menyusuri tegal yang telah diterimanya dari Tim Sukses. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sudikun, anggota Tim Sukses, menjelaskan kepadanya bahwa <em>tegal</em> itu sudah menjadi hak milik warga desa. Uang yang telah dikumpulkan dalam buntalan kain yang tersimpan di bawah bantal itu kini telah menjadi batang-batang jagung yang tumbuh di <em>tegal</em> miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Perempuan itu tersenyum melihat usia jagung yang telah lewat satu bulan. Ia melihat tunas-tunas daun hijau tumbuh di batangnya. Dua bulan kedepan ia pasti sudah dapat memetik jagung yang tumbuh di tanah tegal miliknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Perempuan itu juga masih ingat kata-kata Marsudi ketika ia menandatangani surat perjanjian sambil menyerahkan beberapa puluh rupiah, yang kata mereka untuk administrasi, bahwa apapun nanti yang akan terjadi dirinya harus tetap menanam di <em>tegal</em>, walaupun perhutani melarangnya. <em>Tegal </em>ini sudah menjadi milik warga dan untuk urusan sertifikat masih dalam proses pengadilan, tambah lelaki yang menjadi ketua Tim Sukses.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Ketika ia menatap tanah seluas puluhan hektar, ia teringat kembali penjelasan Tim Sukses bahwa dirinya bersama warga lain akan mendapatkan lagi jumlah yang lebih banyak dari sekarang. Asalkan warga mau mendukung kegiatannya, maka tak lama <em>tegal </em>itu akan menjadi milik mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Dirinya sangat bersyukur bahwa Allah telah memberikan rejeki yang cukup baginya. Kebahagiaan ini telah menambah keyakinannya bahwa Allah menyayangi hambanya yang sabar dan berusaha. Allah akan memberikan rejeki pada saat yang tak pernah diduga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Ia tak mempersoalkan seperti sebagian warga yang benci perhutani. Asal dia bisa menggarap tegal, baginya sudah lebih dari cukup, tak perlulah memusuhi perhutani yang kata sebagian warga adalah pemeras rakyat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Semalam, Marsudi datang kembali ke rumahnya dan ke beberapa tetangga menjelaskan bahwa sertifikat <em>tegal</em> belum bisa jadi. Tim Sukses harus segera ke pengadilan pusat untuk mengalahkan pihak perhutani yang tak mau melepas <em>tegal</em>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Perempuan itu sudah tahu bahwa dirinya harus menyerahkan uang lagi untuk urusan pengadilan. Kali ini Marsudi meminta sejumlah seratus limapuluh per orang, ia tak punya uang sebanyak itu. Namun, Marsudi adalah orang baik dalam pikirannya karena kekurangan itu dapat dicicil di kemudian hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Seorang tetangga di <em>tegal</em> lari ke arahnya dengan tergesa-gesa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kita harus <em>mbantu</em> Tim Sukses demo di pengadilan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Sekarang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Dengan sepasang kaki telanjang perempuan itu mengajak anaknya untuk segera pulang, karena dirinya harus ikut tetangga untuk ke pengadilan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">POYO menatap jagung yang dulu ditanamnya, kini telah dilindas-tuntas oleh sebuah mesin besi. Rata dengan tanah. Warga desa yang pernah menanam di <em>tegal</em> menatap haru tanaman mereka. Kebencian, kemarahan, bingung, ketakberdayaan, dan kepasrahan tampak di wajah petani-petani desa yang kini menundukkan kepala menatap tanah. Beberapa puluh polisi berada di sana, juga seseorang pemuda yang mengarahkan sebuah kamera. Anak-anak tersenyum sambil bergaya, seolah mereka akan masuk tv. Seorang polisi tengah berbicara di depan mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Bapak-bapak dan ibu-ibu apa yang telah kalian lakukan itu adalah melanggar hukum. <em>Tegal</em> ini adalah milik pemerintah. Sebenarnya pemerintah bersama masyarakat menggarap <em>tegal </em>ini dalam program PHBN. Penggarapan Hutan Bersama Negara. Masyarakat punya hak <em>garap</em> bukan hak jual seperti yang telah dijanjikan oleh Tim Sukses. Apalagi mau menandatangani pernyataan kalau saudara-saudara telah menggarap <em>tegal</em> ini selama 40 tahun. Itu namanya penipuan. Seharusnya bapak dan ibu menolak memberikan dana Tim Sukses untuk menuntut perhutani di pengadilan. Itu pelanggaran kepada negara dan hukumannya berat. Perhutani akan mengganti tanaman yang kini <em>dibabat</em>. Pada saatnya nanti saudara-saudara sekalian juga akan diberi hak garap <em>tegal</em> sesuai dengan jatah masing-masing.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">BULAN sebentuk perahu masih mengapung di langit malam. Bagaimana dirinya yang kecil ini bisa terbang, memetiknya, dan memasukkan ke dalam jaring. Poyo berfikir sambil memandangi bulan di atas batu besar. Kepalanya bergerak melukis wajah bulan. Ia teringat perkataan ibunya sebelum dirinya meninggalkan rumah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Kamu tak usah sedih seperti itu, kita musti bersyukur apa yang diberikan Allah untuk kita. Mulai minggu depan kita bisa menanam lagi di <em>tegal</em>. Tadi pak RT <em>ngasih</em> kartu garap kepada emak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Laki-laki itu mengangkat jaringnya dan mengarahkan ke wajah bulan, seolah-olah bulan itu benar-benar masuk ke dalam jaringnya. Ia melonjak-lonjak di atas batu dan berteriak kegirangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">“Aku berhasil, aku berhasil. Sudah aku katakan aku pasti bisa menangkapmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%; font-weight: bold;font-family:arial;"><span lang="MS" style="font-size:100%;">Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang bulan yang baru saja masuk ke dalam jaringnya. Namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya. Wajahnya kembali muram, dan ia duduk lagi di atas batu besar sambil memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan.<o:p></o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-62869091851688947682008-09-26T18:45:00.001-07:002008-09-26T18:48:25.937-07:00BIDADARI TERPASUNG<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuHhg9gBq4pi3GLXmoJb9KbvD5ZjVJOtnocA8awnUtsAlitMXbXRBuFVQcfX_bWFzCzl0xnrS5H_o4_aAwueu5BAFcA-5oGqkcRHcTJnfhBgtnokL4s-oZ-5LHLufgNGoo9TDUszqEHdE/s1600-h/duka+3.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 267px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuHhg9gBq4pi3GLXmoJb9KbvD5ZjVJOtnocA8awnUtsAlitMXbXRBuFVQcfX_bWFzCzl0xnrS5H_o4_aAwueu5BAFcA-5oGqkcRHcTJnfhBgtnokL4s-oZ-5LHLufgNGoo9TDUszqEHdE/s320/duka+3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250511482113785442" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">BERITA pernikahan Nayantari sudah tersebar-siar bersama angin hingga ke seluruh pelosok desa. Pemuda dan lelaki hidung belang yang pernah menghayalkannya harus menanggalkan harapan. Seperti pohon yang ditebang sebelum mengharapkan buahnya. Bidadari desa itu akan melaksanakan pernikahan dengan pemuda pilihannya pada Selasa Pon depan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Pemuda yang menjadi pilihannya adalah seorang prajurit pembela bangsa dari desa seberang. Nayantari menerima pemuda itu untuk menjadi suaminya oleh karena ia mengagumi seorang pembela bangsa. Ayahnya, menurut cerita ibunya, juga adalah seorang prajurit yang meninggal dengan penuh kehormatan bersama lima peluru yang menembus dada.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Betapa beruntungnya Prapta, nama lelaki calon suami seorang bidadari yang turun di bumi dan menjelma menjadi perempuan cantik sebagai Nayantari. Pemuda dan lelaki hidung belang yang pernah mencoba merajut hati tentu akan merasakan patah hati. Menciptakan resah selayaknya burung yang tengah terbang rendah. Sah, jika mereka berharap pemuda calon suami bidadari itu mati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Dari semua lelaki yang pernah takhluk oleh paras, lekuk, serta tutur perempuan tunggal itu adalah Zanuri. Seorang pemuda yang senantiasa mengamati setiap gerak-gerik Nayantari. Ia selalu menyempatkan waktu barang sedetik dalam hidupnya untuk memastikan bahwa bidadari itu baik-baik saja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Pernah suatu kali, Nayantari tengah memetik mawar di halaman rumahnya dan tanpa sengaja duri mawar itu menembus kulit halusnya. Hingga darah segar mengembang di jemari telunjuknya. Nayantari berlari masuk ke rumah. Ia meninggalkan keranjang mawar di atas tanah. Lelaki itu memetikkan beberapa mawar ke keranjangnya dan sesegera mungkin ia meninggalkan tempat itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Tak lama kemudian Nayantari kembali dengan jarinya yang terbalut kain putih. Dirinya sempat bertanya dalam hati tentang mawar dalam keranjangnya. Namun, ia tak lagi menghiraukannya ketika dia harus segera masuk ke dalam rumah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Kerap kali Zanuri duduk di warung mendengarkan obrolan pemuda dan lelaki hidung belang yang mengobati rasa kagumnya terhadap keindahan dan kesempurnaan Natyantari dengan membicarakannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Akulah yang seharusnya pantas mendapatkan Nayantari.” Kata seorang lelaki dengan tubuh tegap lagi legam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Ah, tentu saja kau akan kalah dengan calon suaminya.” Kata salah seorang di sampingya “Ia punya dua senjata. Sedangkan kau cuma satu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Maksudmu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Calon suami Nayantari memiliki satu senjata untuk menembak mati dirimu dan satu lagi untuk Nayantari saat malam pernikahan mereka.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Warung berdinding bambu itu riuh oleh suara gelak mesum-tawa. Salah satu dari mereka tersendak. Namun, seseorang itu melanjutkan tawanya lagi lebih keras. Zanuri yang sedang menyeruput kopi di ujung hanya diam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Kupingnya memerah. Sederas aliran darah. Jantungnya berdetak keras hendak meledak. Seperti ada sebilah kaca yang menyayat dan menorah pelan relungnya. Ingin sekali dirinya bangkit dan mengiris bibir-bibir yang sedang tertawa dan menghujam jantung-jantung yang sedang berdegub itu dengan pisau berkarat. Tapi tentu saja ia tak melakukannya dan dia hanya bisa pergi dari tempat terkutuk itu segera.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Kalau diriku tak bisa meniduri Nayantari, lihat saja nanti. Dia pasti akan kubuat gila dan orang-orang akan melihat seorang bidadari yang terpasung.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Gelak tawa masih tersisa di telinganya. Hingga beberapa langkah kaki diayunkan, sisa gelak tawa itu masih terngiang dan memerahkan telinga serta menghujam keras jantungnya. Ia berlari bersama silara yang tengah turun ke tanah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ada sebuah hari ketika Nayantari sama sekali tak keluar rumah. Hari ketika mawar-mawar merahnya dibiarkan merekah. Zanuri menahan kesedihan rindunya untuk menatap bidadari penali hatinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Hingga pada suatu senja ada sebuah kabar yang dibawa oleh angin bersama musim dingin. Kabar yang suatu saat mampu menumbuhkan tunas-tunas di batang kering yang pernah ditebang. Kabar ketika Prapta harus meninggalkan Nayantari sendirian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Pernikahan mereka terpaksa ditunda karena Prapta mendapatkan tugas untuk mengamankan sebuah daerah rawan konflik di Papua. Nayantari menderaskan air matanya ketika Prapta menerangkan perihal kepergiannya. Baginya, bagi setiap perempuan, air mata adalah sebuah jawaban atas pertanyaan yang ketika bibir tak mampu menjawabnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku tentu akan kembali.” Begitu kata lelaki di depannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Air mata itu makin deras. Ia seolah menyesal karena memilih seorang lelaki yang menjadi prajurit. Kenapa harus lelaki yang dicintainya yang musti pamit pergi meninggalkannya, bukan lelaki hidung belang yang rela meninggalakn istrinya untuk menikahinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Ini adalah tugas negara. Bukankah kau bangga dengan apa yang aku lakukan Nayantari? Bukankah kau juga pernah bercerita kalau kau bangga memiliki ayah yang meninggal secara terhormat walau lima peluru menembus dada?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Nayantari tak memiliki kata-kata. Ia hanya bisa meratap dan setiap kali melawan keresahannya hanya air mata yang keluar. Ia teringat ayahnya. Teringat masa lalu yang pernah diceritakan dan dialami oleh seorang ibu — ibunya. Ia ingat pesan ibunya, bahwa seorang perempuan yang beristrikan prajurit tentu memiliki kebanggaan yang tidak dimiliki oleh perempuan lain, tapi kau harus rela melawan derita yang senantiasa melukis luka di dada.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Ia menggapit kedua bibirnya. Menutup erat kedua matanya, namun entah mengapa air mata itu senantiasa menyela. Hingga ia seolah tak pernah kekeringan air mata. Segalanya tumpah, tapi resah masih menggelisah di setiap hembusan nafas.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Maukah kau menungguku?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Nayantari masih terdiam. Ia tak punya kata-kata untuk mewakili bahasa kalbunya. Ia tak punya daya untuk menatap kedua mata calon suaminya. Ia hanya memiliki air mata. Lagi-lagi hanya air mata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Aku pasti akan kembali. Nayantari, aku pasti akan kembali. Ingat kata-kata itu! Aku akan kembali. Aku akan kembali untuk menikahimu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Nayantari memiliki sedikit kekuatan untuk menatap Prapta dan mengucapkan kata-kata yang tersendat oleh isak-berat-nafas dan berhasil merangkai kata-kat dan terucap lembut oleh bibirnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Ya, aku akan menunggumu walau kau harus mengetuk pintu kematian terlebih dahulu”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Di sisi lain luput dari perhatian Nayantari dan Prapta Zanuri memetik sekuntum mawar dan segera pergi di telan lembayung senja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Malam purnama mengabarkan berita duka. Burung hantu berdekur mengucapakan kalimat duka. Prapta meninggal di tempat tugas karena penyerangan oleh sekelompok orang yang tak di kenal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Seluruh kampung sempat ramai oleh kabar itu. Terlebih-lebih Nayantari dengan ibunya. Bidadari itu sering termenung sendirian. Menatap mawar-mawar. Ia hanya menatap mawar-mawar itu dan membiarkan keranjangnya kosong. Iapun jarang menyisir rambutnya. Ia hanya menatap mawar-mawar dengan tatapan tak sadar hingga ibunya menggiringnya masuk ke dalam. Orang-orang yang menatapnya hanya memicingkan mata. Kecuali Zanuri yang terus mengamatinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Beberapa orang merasa resah dengan kehadiran perempuan itu. Mungkin mereka adalah orang-orang yang pernah sakit hati oleh iri yang dibuat oleh hati mereka sendiri, sehingga menumpahkan segalanya kepada Nayantari. Bahwa Nayantari adalah perempuan gila yang meresahkan dan musti disingkirkan. Terutama mereka adalah sesama perempuan. Perempuan, begitu batin seseorang dengan segapit rokok yang mengepul, adalah makhluk yang dengan sesamanya saenantiasa rawan perselisihan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Hingga purnama berikutnya duka itu kembali dikabarkan oleh dekuran burung-burung hantu. Seseorang, perempuan, dengan rambut panjangnya yang tergerai lusuh dengan kedua tangan terpasung di antara kayu waru. Kelangsatan kulitnya berubah menjadi pelepah-pelapah kayu waru. Rambutnya tergerai lusuh bagai lumut air tersapu gelombang. Dan tatapan matanya yang teduh kini menjadi keruh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">“Apakah janji yang pernah kuucapkan kepada Mas Prap, dapat kutanggalkan?” katanya dengan bibir kering dan sayu.<o:p></o:p></span></p> <div style="border-style: none none double; padding: 0in 0in 1pt;color:-moz-use-text-color -moz-use-text-color windowtext;"> <p class="MsoNormal" style="border: medium none ; padding: 0in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="MS">Seorang lelaki yang dulu sering memetik mawar untuknya kini duduk disampingnya dengan sekeranjang mawar merah. Ia tersenyum sebentar kepadanya, kemudian lelaki itu menyibak rambut lusuh yang menutupi telinga bidadari dalam pasungan itu dan menyematkan sepetik mawar ditelinganya.<o:p></o:p></span></p> </div>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-13539377134448604402008-09-26T18:40:00.000-07:002008-09-26T18:43:51.678-07:00KENANGAN YANG TERBINGKAI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsH9tevbxoi9IOInhAaD28pfO1sKbNUI0qKBTra4HDD1dI6V2qkEVJ9h4SkQWASU-ld25vuoopJFoQEzL3Ih2HqSW209EbYqaGh7G34wOtk03JjMUIgk3Sfd32bCjBnN9NzV2GR2GriXg/s1600-h/duka+2.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsH9tevbxoi9IOInhAaD28pfO1sKbNUI0qKBTra4HDD1dI6V2qkEVJ9h4SkQWASU-ld25vuoopJFoQEzL3Ih2HqSW209EbYqaGh7G34wOtk03JjMUIgk3Sfd32bCjBnN9NzV2GR2GriXg/s320/duka+2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250510343692936178" border="0" /></a><br /><span style="font-family: verdana;font-size:85%;" ><br /></span><p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">SEBUAH rumah milik kakek yang dihadiahkan kepada nenek ketika pengantin baru itu berdiri di atas pekarangan yang disekitarnya banyak tumbuh <i>rose</i> warna merah dan putih. Kakek tahu bahwa nenek sangat menyukai <i>rose</i>. Rumah itu dibangun dengan papan. Di beberapa bagian depan dan sampingnya ditumbuhi oleh tumbuhan rambat dan satu pohan Oak. Kakek sangat rajin memangkas tumbuhan itu agar tidak menutup jendela dan mengurangi masuknya cahaya matahari.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku sungguh dapat merasakan suasana rumah kakek dan nenek. Aku seperti tengah berdiri di depan rumah itu. Mencium aroma roti panggang tiap pagi, kemudian mengolesinya dengan selai. Melihat Lussie mengibas-kibaskan ekornya di atas karpet. Atau jika musim dingin tiba, dan angin laut berhembus di sekitar, aku dapat melihat asap di setiap nafasku. Hingga sebuah deringan telefon memaksaku menggantungkan bingkai foto rumah kakek dan nenek itu kembali ke dinding.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;" align="center"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Dulu, setiap kali tiba di Lork Vollage, rumah kakek dan nenek, aku selalu berlari ke lantai atas memandang bentangan ladang bermil-mil jauhnya dari jendela. Hamparan hijau rumput itu berakhir dengan gunung biru yang ditaburi putih salju. Di seberang kanan sana tampak peternakan sapi milik Pak Cork dengan beberapa pekerjanya. Lelaki tua dan tampan itu selalu berbicara dengan aksen yang berat, sungguh berbeda dari kebanyakan aksen orang kota.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Di sisi lain aku dapat melihat danau dengan permukaannnya yang tenang, jika senja datang permukaannya melukis gumpalan awan yang keperakan. Juga kepakan-kepakan burung yang pulang.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Betapa masa kecilku telah kuhabiskan di rumah kakek dan nenek. Aku adalah cucu pertama mereka, sehingga aku dapat merasakan betapa kebahagiaan mereka telah tercurah sepenuhnya kepadaku. Apalagi usiaku yang saat itu menginjak tahun ke sepuluh, kedua orang tuaku memilih untuk hidup sendiri-sendiri. Hak asuh diriku jatuh kepada ibu, karena ayah seorang pemabuk.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Ibu bahagia telah memenangkan persidangan hak asuh, tetapi ia harus berjuang keras karena ibuku tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia harus banting tulang untuk kebutuhan kami setiap hari. Makanya, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakek dan nenek di desa. Setiap pagi aku selalu ikut nenek ke ladang membawakan sarapan untuk kakek. Sayang, setahun kemudian kakek meninggal<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Hari-hari kulalui dengan nenek. Ibuku yang dulu pernah pulang dua minggu sekali, kini menjadi setiap bulan sekali. Bahkan pernah sampai lima bulan ibu tidak pulang. Tapi, ia selalu mengirimi kami fotonya dan surat dari kota. Begitu juga ayah, ia pernah mengunjungiku beberapa kali dan mengirimiku surat. Namun, ibu melarangku untuk membalas surat ayah. Walaupun dalam surat itu ayah mengatakan kepada ibu bahwa ia sangat mencintainya.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Ayah pernah mengajakku ke kota mencari ibu. Di sana kami bertemu ibu. Aku sama sekali tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Saat itu yang kulihat mata ibu berubah menjadi lembab. Dan malam itu aku dan ayah pulang. Aku tak tahu persis apa yang terjadi, ketika aku terbangun di tengah malam kutersadar bahwa diriku sudah berada di kamar.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku hidup dan dewasa di desa. Nenek mengajariku banyak hal. Di akhir pekan kami selalu menghabiskan waktu untuk memancing, walau aku tahu nenek tidak suka memancing, tapi dia selalu menuruti keinginanku. Ia setia menungguku. Dari pagi hingga bola senja merah tertelan gunung, kami akan bersama pulang menuju rumah dan memasak ikan yang baru saja kami pancing. Kemudian Lussie berlari menyusul dari belakang.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Hari berganti seiring musim panen. Dan aku mulai menyukai gadis tetangga sebelah. Entah kenapa aku bisa jatuh cinta kepadanya. Aku sering murung dan mengurung diri di kamar. Menuliskan bait-bait puisi kepada seorang gadis yang aku sendiri tak tahu namanya. Melihat tingkahku, pada suatu kali makan malam, nenek menanyakan diriku apakah aku sudah memiliki pacar.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Dan, aku tak bisa menyembunyikan perasaan ini jauh dari nenek. Nenek adalah cermin hatiku. Aku tak mau sedebu rahasiapun yang kusisipkan dari nenek. Aku menceritakannya kepada nenek. Ketika aku menceritakan pertama kali aku melihatnya, kulihat senyum simpul di bibir keriputnya.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Nenek justru menyuruhku untuk mengejar gadis itu. Sebagai seorang laki-laki aku harus mendapatkan gadis itu. Aku tak mau nenek menyebutku sebagai lelaki bodoh yang tak bisa merebut hati seorang gadis. Seorang perempuan itu memiliki pintu yang bernama hati, kata nenek kala itu, hanya ketulusan yang bisa menjadi kunci untuk membukanya.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku menceritakan rencanaku kepada nenek untuk mengajak gadis itu pergi ke karnaval yang akan diadakan seminggu lagi. Nenekku mengangguk setuju. Ia mengelus kepalaku, elusannya kurasakan seperti ketika aku masih usia kanak-kanak. Tapi entah kenapa aku selalu rindu dengan usapan jemari nenek di kepalaku.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Alhasil, aku berhasil mengajak gadis itu untuk berkencan. Pertama kali aku menggandeng tangan gadis. Betapa tangan seorang gadis adalah ibarat salju di puncak gunung Alphene. Diantara keramaian, kami senantiasa bergandengan hingga malam menyelimuti desa dengan kota kecil di tengahnya, Kami akhiri hari yang indah itu dengan minum teh hangat di sebuah kedai.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Malamnya kuhabiskan dengan nenek. Kuceritakan pengalamanku hari ini yang sungguh indah. Kuceritakan setiap detilnya. Bahkan aku tak bosan-bosannya mengulangi peristiwa-peristiwa yang menarik. Nenekpun tak bosannya mendengarkan ceritaku. Dan ia menanyakan ini itu walau aku sudah menceritakannya berkali-kali.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Hingga pada suatu ketika, aku mengajaknya untuk makan malam. Aku ingin gadis itu merasakan masakan nenek yang terlezat di seluruh dunia. Dan satu hal lagi yang membuatku kagum dari nenek adalah caranya menyenangkan tamu. Ivy, nama gadis itu, kulihat tersipu untuk beberapa kali saat nenek mengatakan bahwa aku adalah lelaki yang beruntung mendapatkan gadis seindah <i>rose.</i><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;" align="center"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Pada usiaku yang kelima belas, akhirnya aku harus mengakui kenyataan: Ivy meninggalkanku.. Aku benar-benar jatuh. Dan aku merasakan rasa sakit hati untuk yang pertama kalinya. Sakitnya seperti ketika aku terjatuh di taman <i>rose</i> saat memetik bunga, dan duri-durinya mengenai kulitku.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Nenek dapat melihat perubahan perilakuku seperti saat pertama kali aku jatuh hati kepada seorang gadis yang belum kutahu siapa namanya. Kembali aku sering menghabiskan sisa waktuku di kamar memenuhi buku dengan bait-bait puisi yang kutulis untuk seorang gadis yang pertama kali memasukkan duri ke dalam hati.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Segala usaha yang dilakukan nenek sia-sia. Ia sudah melakukan segalanya untuk diriku, tapi aku masih suka membisu. Nenek juga masih setia menungguku memancing hingga senja tergelincir ke belakang gunung. Kami pulang tanpa seekor ikan pun di dalam kotak. Lagi-lagi nenek mengusap kepalaku dengan jemarinya yang makin hari kurasakan makin kering. Dan Lussie mencoba menghiburku dengan meloncat-loncat di depanku.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Lambat laun aku akhirnya dapat melupakan Ivy. Aku kembali sekolah dan ingin mewujudkan cita-citaku dari kecil untuk menjadi seorang penulis. Nenek yakin aku dapat melakukannya. Hingga pada suatu kali aku harus pergi dari Lork Vollage. Aku harus melanjutkan studiku di kota.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku tak bisa meninggalkan nenek sendiri. Aku bisa membayangkan betapa nenek akan kesepian. Lussie tentu tak bisa diajak bicara ketika nenek kesepian. Pernah aku berkata kepada nenek untuk tetap tinggal di sini, tapi nenek justru tidak suka dengan sikapku yang cengeng. Untuk melanjutkan hidup, kata nenek sebelum aku pergi, haruslah rela melepas segala kenangan.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku tahu maksud nenek adalah aku harus memiliki hidup yang layak. Karena nenek tahu bahwa hari ini akan menjadi suatu kenangan suatu hari kelak. Maka, nenek ingin aku membuat hari ini berkesan demi masa depan. Nenek tak ingin aku menyesal suatu hari.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Kaki ini seperti terantai oleh rumah papan itu. Apalagi seminggu yang lalu nenek terbaring karena penyakit jantungnya. Ingin sekali rasanya ini adalah mimpi. Dan ketika aku tersadar aku sudah mendapati Lussie berdiri di samping kepalaku dan menjulurkan lidahnya ke pipiku. Tapi, hari itu adalah kenyataan yang tak bisa kuingkari.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku memeluk nenek, kemudian aku mencium Lussie. Nenek kembali menyapukan jemarinya di rambutku. Aku tak tahan dan menangis. Aku tahu bahwa nenek juga tak bisa menyembunyikan air mata dibalik kulit keriputnya. Kutinggalkan rumah kenangan itu. Aku beranjak dan tak mau menoleh kebelakang agar air mata ini tak berubah menjadi gunung es yang mencair.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; line-height: 150%;font-family:verdana;" align="center"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku tinggal di sebuah flat sederhana bersama ibu. Ibu masih juga melarangku untuk membalas surat dari ayah. Aku menurut saja apa yang dikatakan ibu. Banyak buku-buku yang dikirimkan ayah kepadaku. Tapi ibu selalu melarangku membalas suratnya, walau hanya sekedar mengucapakan terima kasih.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Pada akhir musim dingin, penyakit jantung nenek sering kambuh. Nenek terlalu capek mengurus rumah itu. Aku mengambil cuti beberapa hari dan aku berada di rumah papan itu. Kuulangi kebiasaanku memandang jendela, menatap lama-lama hamparan ladang atau danau yang sedang menggambar langit senja. Juga ternak sapi Pak Cork yang makin luas. Seminggu terasa sangat cepat. Setelah nenek dinyatakan sehat, kami kembali ke kota.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku seperti tak percaya. Apalagi ibu harus berhenti dari pekerjaannya karena perusaahaan ibu setiap hari bekerja mengalami bangkrut. Gaji ibu tidak cukup untuk membiayai hidup di kota, apalagi jantung nenek sering kambuh. Keadaan ini memaksa kami untuk pulang merawat nenek.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Kami harus segera melunasi hutang, belum lagi menebus obat penyakit nenek yang harus diminum setiap hari. Nenek bukan makin sembuh, tapi penyakitnya makin kambuh. Akhirnya, nenekpun mewasiatkan rumah papan itu kepada kami sebelum dirinya memutuskan untuk menyerahkan tongkat estafet kehidupan kepada generasi berikutnya.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">“Hidup ini harus dilanjutkan. Ada yang harus berhenti dan yang lainnya musti berlari” kata terakhirnya.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Hingga sampailah kami kepada saat dimana kami tidak memiliki pilihan lain, selain menjual rumah beserta karangan itu.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Setiap tiga bulan sekali kami mengunjungi Lork Vollage, menabur <i>rose</i> di atas tanah tempat pembaringan nenek. Setiap kali kami melintasi rumah dari papan itu, kami seolah tak mau menoleh. Dan diantara kami selalu menjaga percakapan agar tidak menoleh ke sana. Tapi Lussie selalu berdiri ke jendela mobil. Menggonggong memberitahukan sesuatu dengan bahasa yang tak dimengerti, seperti hati kami yang memungkiri ingin mengatakan sesuatu tentang rumah itu.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center; line-height: 150%;font-family:verdana;" align="center"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">***<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Sudah dua tahun ayah tidak mengirimi aku paket berisi buku. Akhirnya pada suatu ketika aku merasa ingin menuliskan sebuah surat kepadanya, walau ibu melarangku. Berkali-kali bahkan berpuluh-puluh surat telah kukirim, tapi surat itu selalu kembali dengan alasan orang yang dituju sudah pindah alamat.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Pada suatu malam, aku menuliskan puisi-puisi untuk ayah. Aku tahu ayah pasti bangga dengan hasilku kini. Diam-diam, dengan hasil tabunganku, aku pergi ke alamat surat yang pernah ayah tulis.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Pada suatu sore aku sampai di alamat tersebut. Kulihat sebuah rumah dengan halaman yang tidak terlalu luas dan rumput yang terpotong rata seperti karpet. Di balik pagar kayu itu terdapat kotak surat yang sebagian sisinya berkarat. Kucocokkan dengan alamat surat ayah dan sama.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Pikirku, ayah adalah seorang laki-laki yang rajin dan tekun, tapi entah mengapa ibu selalu menceritakan tentang ayah sebagai seorang lelaki pemabuk. Kenapa ibu tak pernah membicarakan ayah yang rajin merawat bunga?<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Setelah pintu kuketuk beberapa kali, seorang lelaki tua membuka pintu. Kutanyakan nama ayah, tapi dia tidak mengenalnya. Ia mengatakan ia sudah menempati rumah ini selama dua tahun. Akhirnya aku bertemu tetangga yang baik hati dan pernah mengenal ayah, aku diberi nomor telefon kantor. Ayah sudah lama tidak pulang, kata tetangga yang baik itu, mungkin ia betah di kantor. Malam itu aku menginap di rumahnya dan ia menceritakan banyak hal tentang ayah.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Esok paginya aku pergi menuju kantor dan kubertemu dengan atasan ayah. Ia seorang lelaki dengan perut buncit dengan kumis yang membusur seperti terbuat dari sapu ijuk. Ia mengatakan menyesal, ia menceritakan ayahku sudah meninggal karena serangan kanker otak. Aku tertunduk pucat dan lemas.<o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="MS">Aku masih menaruh puisi-puisi yang kutulis untuk ayah beberapa malam yang lalu di dalam ransel, dan tidak tahu harus mengalamatkannya kemana.<o:p></o:p></span></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2884130784434658907.post-33990505199463837662008-09-26T18:28:00.000-07:002008-09-26T18:36:29.710-07:00BERSAMA MENUJU SUKSES<span style="font-size:85%;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii2Co84vMq2uM-xjU7ILQmuR13zFRoLklwAdxVLRlC4StlgFzsPBdTGKpW9t6XAzAAzSEzokJncDTPKB9ubmGfmporx_aPRCBhAmbYd2aiKzcM35RucV82tFBwXzl-npB6R2UI0fBNbJY/s1600-h/duka+1.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii2Co84vMq2uM-xjU7ILQmuR13zFRoLklwAdxVLRlC4StlgFzsPBdTGKpW9t6XAzAAzSEzokJncDTPKB9ubmGfmporx_aPRCBhAmbYd2aiKzcM35RucV82tFBwXzl-npB6R2UI0fBNbJY/s320/duka+1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5250507908182305826" border="0" /></a><br /></span> <h2><span style="font-size:85%;"><a name="isi"><span style="" lang="MS">Cerpen : Bersama Menuju Sukses<o:p></o:p></span></a></span></h2> <span style=";font-size:85%;" ></span> <p class="konten"><span style=";font-size:85%;" lang="MS" >Hari pertama proses belajar mengajar di sebuah SMU negeri di Makassar adalah sebuah momen bersejarah bagi Taufik, salah seorang tunanetra yang akan mengikuti pendidikan integrasi di sekolah tersebut, sebab ia adalah seorang tunanetra pertama yang di terima oleh sekolah tersebut tentu saja setelah memenuhi setiap persyaratan yang diantaranya adalah melalui jalur seleksi penerimaan siswa baru dan dinyatakan lulus).<br /><br />Setelah beberapa hari taufik mengikuti semua mata pelajaran, ia hampir tidak pernah menghadapi hambatan sedikitpun dan selalu memperoleh kemudahan sebab ia dikenal sebagai orang yang baik dan cerdas di mata teman-teman serta gurunya meskipun ia memiliki keterbatasan (mengalami ketunanetraan). Dengan intelegensi yang tinggi serta skil yang matang sebagai modal yang dimiliki oleh Taufik dalam bergaul sehingga ia berhasil mempengaruhi teman-temannya yang dahulu dikendalikan oleh minuman keras,tawuran, dan kenakalan-kenakalan remaja lainnya, kini telah berhasil mengarah ke pergaulan yang di isi dengan tindakan positif.<br /><br />Suatu hari, Taufik sedang mengikuti mata pelajaran computer, Pak Erwin (guru bidang study keterampilan computer) sedang menuliskan materi pelajaran di papan tulis, sehingga taufik harus menunggu bala bantuan dari teman-temannya, baru hari itu taufik tidak memperoleh bala bantuan dari teman-temannya sebab mereka harus mengerjakan tugas yang diberikan oleh pak erwin sehingga Taufik harus menunggu selesainya mereka.<br /><br />Tetapi, Taufik tidak sakit hati ia tetap menunggu dengan sabar sebab dibalik kejadian yang menimpanya ia yakin ada sesuatu yang tersembunyi. Namun ternyata prinsip yang dipegang oleh taufik itu benar sebab ada salah seorang teman sekelas taufik ternyata telah selesai menuliskan materi yang telah ditulis oleh pak erwin dia adalah Aulia ketika itu Aulia melihat Taufik sedang duduk dan mempersiapkan kertas, reglet, dan pen untuk menulis, Aulia pun datang dan menawarkan diri dengan berujar<br /><br />”Fik… aku Bantu bacain ya! Pasti kamu mau nulis yang di papan tadi”<br />Taufik menjawab “Ya kalau tidak merepotkan”<br />“Saya tidak merasa kerepotan kok, itu si biasa” Sahut Aulia menanggapi Taufik.<br /><br />Setelah Taufik dan Aulia berbincang-bincang, Aulia langsung memulai aksinya sambil memperhatikan gerakgerik Taufik dalam menulis dengan lincahnya menggunakan reglet. Beberapa hari setelah pertemuan Taufik dan Aulia di Lab Komputer, merekapun melanjutkan perbincangan mereka di kelas, isi perbincangan mereka adalah seputar keaktifan mereka dalam organisasi ketika mereka masih SMP tempo hari.<br /><br />Sejak itu, pertemanan antara Taufik dan Aulia semakin langgeng, Aulia selalu memberi tahu Taufik setiap kali ada kegiatan extra kurikuler antara lain yang menjadi kegemaran Aulia dan Taufik yaitu Meting English, terkadang jika Taufik dan Aulia lagi ada waktu mereka mempergunakUannya untuk mempraktekkan percakapan Bahasa ingris Taufik pun tidak malu-malu bercakap dengan Aulia meskipun vocabulary yang diketahuinya sangat minim, namun Aulia menanggapi sikap Taufik dengan membantu mencarinya di dalam kamus yang dimilikinya.<br /><br />Namun, suatu hari ternyata Taufik telah melakukan sebuah tindakan yang menurutnya adalah bukanlah suatu kesalahan ternyata tindakan itu dipandang sebagai kesalahan oleh Aulia sebab Aulia sedang jalan bareng dengan Umar seorang laki-laki yang merupakan teman sekelas Taufik, Taufik langsung ngeledekin Aulia dengan ucapan<br /><br />”selamat anda telah resmi dengan Umar sebagai sepasang kekasih”<br /><br />Mendengar hal itu Aulia langsung naik fitam dan marah besar kepada Taufik, akhirnya hari itu terjadi permusuhan antara Aulia dan Taufik. Semenjak Aulia dan Taufik tidak berteman, Taufik sangat merasa bersalah sebab ia ternyata telah melakukan kekhilafan yang sangat luar biasa. Tetapi setelah beberapa bulan peristiwa ini berlangsung, Aulia kembali menyatakan bahwa masalah antara Taufik dan dirinya selesai. Taufik berjanji pada Aulia bahwa ia tidak akan melakukan kesalahan lagi.<br /><br />Tibalah penerimaan raport hasil belajar selama satu smester, Taufik ternyata tidak menyangka jika ia akan masuk dalam kategori sepuluh besar, dan hal yang samapun dialami oleh Aulia. Ketika seluruh siswa sudah menerima raport masing-masing merekapun langsung mengecek hasil belajar mereka, begitupun dengan Taufik ia mengecek hasil belajarnya dengan bantuan dari Aulia untuk membacakan nilai-nilai yang ada didalam raport milik Taufik dan ternyata taufik berada pada urutan ke 5 dari 50 siswa.<br /><br />Begitupun dengan Aulia ternyata ketika mengecek hasil belajarnya selama enam bulan ternyata nilai-nilai yang diperolehnya sangat memuaskan dan ternyata ia berada di peringkat pertama. Sejak saat itu, Taufik dan Aulia memiliki frekwensi persahabatan yang begitu tinggi, namun meskipun Taufik mempunyai teman dekat, ia tetap bergaul dengan teman-teman yang lain, ia tidak mau menanamkan sikap sombong sebab ia merasa dirinya adalah manusia yang berkekurangan. Selain mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, Taufik juga mengikuti kegiatan extra kurikuler di bidang keagamaan begitupun dengan Aulia selain mengikuti PBM di sekolah ia juga mengikuti extrakurikuler matematika dan IPA serta extrakurikuler bahasa ingris dan lain sebagainya.<br /><br />Akhirnya tibalah masa penaikan kelas, Taufik dan Aulia berpisah kelas sebab mereka mengambil jurusan yang berbeda pula Taufik mengambil jurusan IPS sebab dilihat dari segi fisual tidak kapabel untuk mengambil jurusan yang mempertemukan dirinya dengan Aulia, sementara Aulia sendiri mengambil jurusan IPA.<br /><br />Setelah keduanya telah duduk di kelas dua, mereka ternyata terpilih sebagai orang nomor satu di dua organisasi yang berbeda meskipun kedua organisasi tersebut berada di dalam lingkup sekolah mereka Taufik terpilih sebagai ketua Kerohanian atau Rohis sedangkan Aulia terpilih sebagai ketua Organisasi Intra sekolah(OSIS). Ketika kedua organisasi ini berada di bawah pimpinan dua sekawan ternyata keduanya berada pada masa kejayaan seluruh pengurus kedua organisasi ini sangat menyenangi keduanya begitupun Pembina kedua organisasi ini beserta guru-guru di sekolah tersebut sangat menyenangi keduanya selama mereka memimpin kedua organisasi tersebut.<br /><br />Suatu hari kedua organisasi ini sedang tidak ada kegiatan, Aulia dan Taufik lagi ada waktu senggang, Taufik tiba-tiba datang ke kelas dua IPA1 yang merupakan pusat kegiatan osis(PKO), kedatangan Taufik ke kelas dua IPA1 adalah memanggil Aulia untuk ngobrol, ketika mereka sudah sampai di tempat yang telah di persiapkan oleh Taufik Taufik pun membuka pembicaraan, setelah lama berbasa basi dan bercanda Taufik pun menyatakan isi hatinya<br /><br />“Sesungguhnya sejak kita bersama di kelas satu engkau telah begitu banyak membantu aku, aku tak tahu harus membalas dengan apa?”<br />Aulia menjawab “Biarlah Allah yang akan membalas perbuatan aku sama kamu Fik” Taufik kembali melanjutkan pembicaraannya “Tapi aku berusaha ingin membalasnya” ujar Taufik<br />“Pake apaya?” Tanya Aulia<br />Taufik menjawab “ Aulia sesungguhnya aku mencintaimu”.<br /><br />Tetapi setelah taufik menyatakan cintanya, ia tidak langsung memberi Aulia kesempatan untuk bicara tapi ia melanjutkannya dengan pertanyaan<br /><br />“Maukah kalau aku membalas perbuatanmu dengan cintaku?”<br />Aulia menanggapi taufik seraya berujar”Nggak papa aku terima kalau itu lu punya mau akan kujadikan cintaku padamu sebagai ladang amal untukku yaitu menolong orang-orang seperti kamu”.<br /><br />Sejak itulah cinta Taufik dan Aulia mulai bersemi. Semenjak Taufik dan Aulia menjalin hubungan asmara, Taufik ternyata tidak terlalu mengalami kesulitan jika ia memperoleh pekerjaan rumah, dan ketika mengikuti ujian blok sebab ia selalu didampingi oleh Aulia.<br /><br />Hari berganti bulan berlalu tahun sili berganti waktu terus berjalan, tak terasa setahun sudah usia hubungan asmara antara Taufik dan Aulia, kini mereka sudah duduk di kelas tiga setahun lagi mereka akan meninggalkan sekolah yang merupakan tempat mereka menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal. Periode kepemimpinan Taufik di organisasi kerohanian telah usai begitupun dengan Aulia, iapun telah selesai menunaikan amanah yang telah diletakkan di pundaknya setahun lalu oleh seluruh siswa sehingga merekapun mempersiapkan diri untuk bertaruh di arena ujian nasional meskipun masih lama, tapi Aulia dan Taufik sudah melakukan berbagai persiapan.<br /><br />Akhirnya, tibalah pada suatu hari dimana hari itu adalah hari penentuan lulus tidaknya para pelajar SMU di seluruh indonesia setelah mengikuti Ujian akhir Nasional dan Ujian akhir Sekolah Taufik datang ke sekolah dengan penuh tanda Tanya, setibanya di sekolah Taufik langsung menuju ke depan majallah dinding yang digunakan untuk mengecek informasi tentang keseharian di sekolah termasuk penentuan kelulusan.<br /><br />Dengan bantuan teman-temannya, Taufik langsung mengecek informasi tentang lulus tidaknya ia setelah temannya mengecek dengan teliti nama-nama yang ada di papan pengumuman ternyata ia langsung mendapatkan ucapan selamat setelah temannya melihat nama Taufik tertera di papan pengumuman tersebut. Tak lama kemudian Aulia pun datang Taufik kembali meminta tolong kepada Aulia untuk mengecek kebenaran namanya terpampang di papan pengumuman<br /><br />“Aulia… tolongindong, kamu cek nama aku di papan pengumuman, tadi soalnya aku kurang percaya” ujar taufik memohon.<br /><br />Tanpa embel-embel Aulia pun langsung mengecek kebenaran tentang termuatnya nama Taufik di papan pengumuman sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang tammat dengan berhasil membawa prestasi yang gemilang, setelah pengecekan ulang dilakukan oleh Aulia ia langsung berujar<br /><br />“berterima kasihla kepada Allah”<br /><br />Taufik mendengar seruan Aulia, langsung merespon dengan berujar<br /><br />“Apa?... saya lulus?”<br />Aulia menjawab “ya kamu lulus fik”.<br /><br />Setelah Aulia membantu Taufik melakukan pengecekan ulang terhadap nama Taufik dalam pengumuman kelulusan iapun langsung mengecek namanya di papan pengumuman dan ternyata iapun juga dinyatakan lulus.<br /><br />Setelah mereka mengetahui informasi kelulusan masing-masing, Aulia pun mengucapkan kata-kata perpisahan<br /><br />“Fik… hari ini adalah hari dimana kita akan berpisah tapi kamu jangan sedih ya! Fikirkanlah masa depan kamu kalau kamu emang cinta sama aku, bisa saja tuhan mempunyai rencana lain, memilihkanmu seorang guide yang sempurna dari segi fisual, lebih cantik dari aku dan masih banyak lagi Fik… kamu harus tahu kalau cinta tidak harus memiliki”<br />Taufik menanggapi “iya deh kalau kamu emang jodoh aku pasti deh kita ketemu di lain hari dan bersama sampai tua nanti.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-size:85%;" lang="MS" ><o:p> </o:p></span></p>menjaras akar ilmuhttp://www.blogger.com/profile/16163884369234697969noreply@blogger.com0