Jumat, 26 September 2008

BIDADARI TERPASUNG


BERITA pernikahan Nayantari sudah tersebar-siar bersama angin hingga ke seluruh pelosok desa. Pemuda dan lelaki hidung belang yang pernah menghayalkannya harus menanggalkan harapan. Seperti pohon yang ditebang sebelum mengharapkan buahnya. Bidadari desa itu akan melaksanakan pernikahan dengan pemuda pilihannya pada Selasa Pon depan.

Pemuda yang menjadi pilihannya adalah seorang prajurit pembela bangsa dari desa seberang. Nayantari menerima pemuda itu untuk menjadi suaminya oleh karena ia mengagumi seorang pembela bangsa. Ayahnya, menurut cerita ibunya, juga adalah seorang prajurit yang meninggal dengan penuh kehormatan bersama lima peluru yang menembus dada.

Betapa beruntungnya Prapta, nama lelaki calon suami seorang bidadari yang turun di bumi dan menjelma menjadi perempuan cantik sebagai Nayantari. Pemuda dan lelaki hidung belang yang pernah mencoba merajut hati tentu akan merasakan patah hati. Menciptakan resah selayaknya burung yang tengah terbang rendah. Sah, jika mereka berharap pemuda calon suami bidadari itu mati.

Dari semua lelaki yang pernah takhluk oleh paras, lekuk, serta tutur perempuan tunggal itu adalah Zanuri. Seorang pemuda yang senantiasa mengamati setiap gerak-gerik Nayantari. Ia selalu menyempatkan waktu barang sedetik dalam hidupnya untuk memastikan bahwa bidadari itu baik-baik saja.

Pernah suatu kali, Nayantari tengah memetik mawar di halaman rumahnya dan tanpa sengaja duri mawar itu menembus kulit halusnya. Hingga darah segar mengembang di jemari telunjuknya. Nayantari berlari masuk ke rumah. Ia meninggalkan keranjang mawar di atas tanah. Lelaki itu memetikkan beberapa mawar ke keranjangnya dan sesegera mungkin ia meninggalkan tempat itu.

Tak lama kemudian Nayantari kembali dengan jarinya yang terbalut kain putih. Dirinya sempat bertanya dalam hati tentang mawar dalam keranjangnya. Namun, ia tak lagi menghiraukannya ketika dia harus segera masuk ke dalam rumah.

***

Kerap kali Zanuri duduk di warung mendengarkan obrolan pemuda dan lelaki hidung belang yang mengobati rasa kagumnya terhadap keindahan dan kesempurnaan Natyantari dengan membicarakannya.

“Akulah yang seharusnya pantas mendapatkan Nayantari.” Kata seorang lelaki dengan tubuh tegap lagi legam.

“Ah, tentu saja kau akan kalah dengan calon suaminya.” Kata salah seorang di sampingya “Ia punya dua senjata. Sedangkan kau cuma satu.”

“Maksudmu?”

“Calon suami Nayantari memiliki satu senjata untuk menembak mati dirimu dan satu lagi untuk Nayantari saat malam pernikahan mereka.”

Warung berdinding bambu itu riuh oleh suara gelak mesum-tawa. Salah satu dari mereka tersendak. Namun, seseorang itu melanjutkan tawanya lagi lebih keras. Zanuri yang sedang menyeruput kopi di ujung hanya diam.

Kupingnya memerah. Sederas aliran darah. Jantungnya berdetak keras hendak meledak. Seperti ada sebilah kaca yang menyayat dan menorah pelan relungnya. Ingin sekali dirinya bangkit dan mengiris bibir-bibir yang sedang tertawa dan menghujam jantung-jantung yang sedang berdegub itu dengan pisau berkarat. Tapi tentu saja ia tak melakukannya dan dia hanya bisa pergi dari tempat terkutuk itu segera.

“Kalau diriku tak bisa meniduri Nayantari, lihat saja nanti. Dia pasti akan kubuat gila dan orang-orang akan melihat seorang bidadari yang terpasung.”

Gelak tawa masih tersisa di telinganya. Hingga beberapa langkah kaki diayunkan, sisa gelak tawa itu masih terngiang dan memerahkan telinga serta menghujam keras jantungnya. Ia berlari bersama silara yang tengah turun ke tanah.

***

Ada sebuah hari ketika Nayantari sama sekali tak keluar rumah. Hari ketika mawar-mawar merahnya dibiarkan merekah. Zanuri menahan kesedihan rindunya untuk menatap bidadari penali hatinya.

Hingga pada suatu senja ada sebuah kabar yang dibawa oleh angin bersama musim dingin. Kabar yang suatu saat mampu menumbuhkan tunas-tunas di batang kering yang pernah ditebang. Kabar ketika Prapta harus meninggalkan Nayantari sendirian.

Pernikahan mereka terpaksa ditunda karena Prapta mendapatkan tugas untuk mengamankan sebuah daerah rawan konflik di Papua. Nayantari menderaskan air matanya ketika Prapta menerangkan perihal kepergiannya. Baginya, bagi setiap perempuan, air mata adalah sebuah jawaban atas pertanyaan yang ketika bibir tak mampu menjawabnya.

“Aku tentu akan kembali.” Begitu kata lelaki di depannya.

Air mata itu makin deras. Ia seolah menyesal karena memilih seorang lelaki yang menjadi prajurit. Kenapa harus lelaki yang dicintainya yang musti pamit pergi meninggalkannya, bukan lelaki hidung belang yang rela meninggalakn istrinya untuk menikahinya.

“Ini adalah tugas negara. Bukankah kau bangga dengan apa yang aku lakukan Nayantari? Bukankah kau juga pernah bercerita kalau kau bangga memiliki ayah yang meninggal secara terhormat walau lima peluru menembus dada?”

Nayantari tak memiliki kata-kata. Ia hanya bisa meratap dan setiap kali melawan keresahannya hanya air mata yang keluar. Ia teringat ayahnya. Teringat masa lalu yang pernah diceritakan dan dialami oleh seorang ibu — ibunya. Ia ingat pesan ibunya, bahwa seorang perempuan yang beristrikan prajurit tentu memiliki kebanggaan yang tidak dimiliki oleh perempuan lain, tapi kau harus rela melawan derita yang senantiasa melukis luka di dada.

Ia menggapit kedua bibirnya. Menutup erat kedua matanya, namun entah mengapa air mata itu senantiasa menyela. Hingga ia seolah tak pernah kekeringan air mata. Segalanya tumpah, tapi resah masih menggelisah di setiap hembusan nafas.

“Maukah kau menungguku?”

Nayantari masih terdiam. Ia tak punya kata-kata untuk mewakili bahasa kalbunya. Ia tak punya daya untuk menatap kedua mata calon suaminya. Ia hanya memiliki air mata. Lagi-lagi hanya air mata.

“Aku pasti akan kembali. Nayantari, aku pasti akan kembali. Ingat kata-kata itu! Aku akan kembali. Aku akan kembali untuk menikahimu!”

Nayantari memiliki sedikit kekuatan untuk menatap Prapta dan mengucapkan kata-kata yang tersendat oleh isak-berat-nafas dan berhasil merangkai kata-kat dan terucap lembut oleh bibirnya.

“Ya, aku akan menunggumu walau kau harus mengetuk pintu kematian terlebih dahulu”

Di sisi lain luput dari perhatian Nayantari dan Prapta Zanuri memetik sekuntum mawar dan segera pergi di telan lembayung senja.

***

Malam purnama mengabarkan berita duka. Burung hantu berdekur mengucapakan kalimat duka. Prapta meninggal di tempat tugas karena penyerangan oleh sekelompok orang yang tak di kenal.

Seluruh kampung sempat ramai oleh kabar itu. Terlebih-lebih Nayantari dengan ibunya. Bidadari itu sering termenung sendirian. Menatap mawar-mawar. Ia hanya menatap mawar-mawar itu dan membiarkan keranjangnya kosong. Iapun jarang menyisir rambutnya. Ia hanya menatap mawar-mawar dengan tatapan tak sadar hingga ibunya menggiringnya masuk ke dalam. Orang-orang yang menatapnya hanya memicingkan mata. Kecuali Zanuri yang terus mengamatinya.

Beberapa orang merasa resah dengan kehadiran perempuan itu. Mungkin mereka adalah orang-orang yang pernah sakit hati oleh iri yang dibuat oleh hati mereka sendiri, sehingga menumpahkan segalanya kepada Nayantari. Bahwa Nayantari adalah perempuan gila yang meresahkan dan musti disingkirkan. Terutama mereka adalah sesama perempuan. Perempuan, begitu batin seseorang dengan segapit rokok yang mengepul, adalah makhluk yang dengan sesamanya saenantiasa rawan perselisihan.

Hingga purnama berikutnya duka itu kembali dikabarkan oleh dekuran burung-burung hantu. Seseorang, perempuan, dengan rambut panjangnya yang tergerai lusuh dengan kedua tangan terpasung di antara kayu waru. Kelangsatan kulitnya berubah menjadi pelepah-pelapah kayu waru. Rambutnya tergerai lusuh bagai lumut air tersapu gelombang. Dan tatapan matanya yang teduh kini menjadi keruh.

“Apakah janji yang pernah kuucapkan kepada Mas Prap, dapat kutanggalkan?” katanya dengan bibir kering dan sayu.

Seorang lelaki yang dulu sering memetik mawar untuknya kini duduk disampingnya dengan sekeranjang mawar merah. Ia tersenyum sebentar kepadanya, kemudian lelaki itu menyibak rambut lusuh yang menutupi telinga bidadari dalam pasungan itu dan menyematkan sepetik mawar ditelinganya.

Tidak ada komentar: