Jumat, 26 September 2008

ELEGI


“JAWAB! Jangan diam!”

Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun, asalkan kau mengizinkanku menyisir helai rambut yang tergerai di pipimu, walau sekali saja.

“Jangan berpura-pura mampus!”

Bibir beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.

“Ayo mengaku!”

Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah kau izinkan diriku menyisir rambut di pipimu. Walau itu sekali. Hanya sekali.

Mulut beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku dengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.

***

“Zuliana Arlianadinata. Panggil saja Ana”

Beruntunglah dirimu. Perempuan itu menyambut tanganmu sambil menyebutkan namanya. Aku tak pernah menduga, bahwa perempuan yang tak satupun lelaki berhasil mendekatinya telah menyambut tanganmu dan memberikan senyum itu padamu. Dan jika kau tahu, setiap senti senyumnya berarti satu inchi lukaku.

Luka itu makin menganga ketika aku tahu dirimu berhasil mengajaknya pergi ke tempat kesukaannya: laut. Lagi-lagi kau membuat sayatan luka baru di jantungku dengan pisau karatmu. Dan kata-kata manis perempuan itu, tak lain adalah garam yang ditabur di atas luka sayatanmu. Kenapa perempuan itu tak mengenali wajah iblis di balik wajahmu!

“Tutup matamu”

Itulah perkataan srigalamu kepada perempuan yang kini menuruti setiap perkataanmu. Lantas, kau menutup sepasang mata perempuan itu dengan kain. Aku tahu kau akan memberinya suatu kejutan. Tapi seandainya aku membawa senapan, tentu aku akan membuatmu terkejut terlebih dulu dengan menembak isi di kepalamu agar otak kotormu itu diketahui oleh perempuan yang lebih pantas bersamaku dari pada bersamamu.

“Kau yakin sudah tidak dapat melihatnya?”

Perempuan itu menggeleng. Aku iri melihat sepasang tanganmu ketika menutup sepasang mata perempuan itu. Kau diizinkan membelai rambut panjangnya. Kau menatap perempuan itu, seolah kau adalah serigala yang telah memenangkan perburuan. Ah, dengan apa aku harus mengatakan kepadamu, Ana, bahwa lelaki yang bersamamu adalah lelaki serigala?

Angin yang kutitipi perasaan ini, hanya menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh deburan ombak yang menghantam karang. Lalu dijawab oleh kepakan burung yang mendaki senja di depannya. Haruskan aku muncul tiba-tiba menghunuskan belati ke lelaki berengsek itu?

“Sekarang buka matamu”

Seharusnya hatimu terbuka Ana. Seharusnya kau melihat sejati dari lelaki itu. Tetapi kenyataannya kau justru tersenyum simpul ketika lelaki itu berjongkok di depanmu sambil membawa sekuntum kembang. Ombak menari-nari sambil bertepuk tangan. Burung-burung yang pulang menyempatkan diri untuk menatap kalian. Sedang senja pura-pura menjadi lelaki tua bijak yang melihat percintaan kalian. Sebagai perempuan, hatimu telah tercuri.

“Menikahlah denganku. Kalungkan kain itu di kepalaku jika kau menerimaku, tetapi jika tidak buanglah kain itu ke laut”

Jantungku berdetak lebih keras. Belati yang kugenggam tidak lagi dapat berdiam diri. Ia menjadi teman setiaku. Dialah yang bersedia menusuk jantung yang berdetak menunggu jawaban perempuan itu lalu kulempar ke laut. Tapi, lagi-lagi aku tak mampu melakukannya. Aku memang ditakdirkan hanya bisa melihat dan diam.

Kau masih terdiam, Ana. Dan itulah yang menjadikan lelaki berfikir bahwa perempuan adalah lautan misteri. Tak habis dilayari dan diselami. Entah apa yang berada di dalam pikiranmu sekarang. Deburan ombak mempercepat gelap. Segenap hatiku mengelam ketika kau mengalungkan kain itu di leher lelaki biadab itu!

Dan pada suatu hari kulihat kau mengalungkan untaian melati lagi di leher lelaki bejat itu di atas pelamin. Suara gamelan bertalu-talu menjadi tombak yang menancap di dadaku. Belati yang kini di genggaman tanganku telah membisikkan kepadaku untuk segera menghunus lelakimu.

Dadaku menahan gemuruh, Ana. Kutancapkan saja pisauku di batang pohon, seolah aku telah menancapkannya tepat dijantung lelakimu. Aku memutuskan berlari pulang ketika kulihat cahaya lampu menggambar sepasang bayang yang saling memagut di balik jendela yang tertutup kelambu.

***

“Sudah lama menunggu ya, papa tidak bisa menjemput Nina hari ini”

Wajah gadis itu benar-benar mirip dengan wajahmu Ana. Sepasang mata itu benar-benar sepasang matamu yang telah kau wariskan, tetapi aku melihat ada darah lelaki bejat yang mengalir dalam detak jantung gadis itu.

“Kenapa papa selalu ingkar janji”

Kujelaskan kepada anakmu bahwa dirimu sedang ada pekerjaan penting mendadak. Tetapi, ketahuilah wahai lelaki bangsat, sesungguhnya diriku telah menanamkan bom waktu di otak anakmu. Suatu saat pasti akan meledak. Ha ha ha.

“Aku benci dengan papa!”

Ha ha ha. Ingin rasanya aku terus tertawa. Tetapi di wajahnya, aku menatap seberkas keteduhan yang pernah di wariskan oleh ibunya. Kenapa darah yang mengalir dalam tubuhnya bukan darahku dan darahmu, Ana. Kenapa jantung lelaki bejat itu yang mengalirkan darahmu, Ana.

Kecemburuanku ini seperti telah memaksaku untuk segera menyulut bom waktu di hati anakmu ini. Ingin kukatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah serigala bejat yang menjelama menjadi seorang lelaki yang kini berpura-pura berperan menjadi ayah.

Sebenarnya aku sering melihat pertengkaran orang tuamu, Nina. Kalaupun aku hanya seorang sopir pribadi ayahmu, justru itulah aku tahu banyak tentang kebejatan ayahmu. Kemana ia habiskan malamnya, aku tahu. Alasannya ke luar kota dengan mengajakku adalah hanya alasan untuk mengelabuhi ibumu.

Entah sudah berapa puluh keperawanan perempuan sudah ia beli dengan uangnya. Entah sudah berapa puluh kali kelaminnya singgah di gubug-gubug murah perempuan. Entahlah, Nina. Tetapi, ketika ingin kusulut bom yang telah kutanam dalam otakmu, aku tak sanggup melakukannya. Keteduhan wajah yang diwariskan ibumu telah meredam badai amarahku.

Sesaat ketika kita sampai di rumah, aku tak bermaksud untuk memperlihatkan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibumu. Tetapi takdir tak bisa menutupi apa yang sudah disembunyikan oleh waktu. Dan kau memilih tidur di kamarku dari pada melihat orang tuamu. Aku membelaimu seperti aku membelai anakku sendiri.

***

“Kau lelaki yang tak tahu malu!”

Akhirnya suatu hari ibumu telah mendengar bisik yang kutitipkan angin. Begitulah seharusnya ibumu, ia tidak diam ketika ia melihat adanya ketimpangan. Aku melihat sorot tajam ibumu. Aku melihat badai dalam bibir ibumu yang siap meluluhlantakkan setiap tipu daya ayahmu.

Nina, saat kau terlelap, ayahmu telah berubah menjadi serigala. Alasan-alasan ayahmu tak dapat menjawab semua logika ibumu. Ayahmu hanya bisa menjawab logika ibumu dengan sebuah tamparan. Tak puas dengan tamparannya, ia memukul ibumu. Lantas, membanting tubuh ibumu lalu pergi entah kemana.

Saat itulah, aku menyentuh kulit ibumu yang pertama kali ketika membaringkan tubuh yang makin kurus itu. Membenahi rambut panjangnya yang tergerai di pipinya. Ingin rasanya aku menggantikan ayahmu untuk menemani ibumu. Sejak malam itulah ibumu lebih suka mencurahkan isi hatinya kepadaku.

Sayang sekali, ayahmu telah mencium hubunganku dengan ibumu. Suatu kali aku tak dapat menghidari pertengkaranku dengan ayahmu. Tetapi ayahmu adalah iblis yang nafasnya adalah hembusan amarah. Hingga pada suatu perkelahian ayahmu mengayunkan sesuatu yang membuat sepasang mataku gelap dan aku tak berdaya.

“Kau yang selama ini meniduri istriku bukan?”

Saat kusadar, kudapati diriku terkapar dengan tangan terikat. Aku menatap wajah ayahmu dengan sisa tenagaku. Ayahmulah yang mengayunkan cemeti itu ke tubuhkku. Sepasang mataku hanya mencari kemana perginya dirimu dan ibumu, tapi tak pernah kutahu.

“Jawab! Jangan diam!”

Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun.

“Jangan berpura-pura mampus!”

Bibir ayahmu yang beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.

“Ayo mengaku!”

Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah ibumu mengizinkan diriku menyisir rambut di pipinya. Walau itu sekali. Hanya sekali.

Mulut ayahmu yang beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku mendengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.

Entah ini halusinasi atau kenyataan, ibumu menangis di samping gerobak yang di dorong oleh perawat. Sebelum pintu kamar operasi ini di tutup aku melihat wajahmu duhai gadis manis. Memeluk ibumu. Setelah itu, yang tersisa hanya gelap.


LELAKI pendek itu tinggal bersama seorang perempuan tua yang melahirkan lelaki pendek: Poyo. Tidak ada arti khusus, mengapa perempuan itu memberi nama sependek tubuh anaknya. Yang ia tahu lelaki yang tumbuh dengan air susunya itu memiliki arti yang istimewa baginya, walaupun ia memiliki kelainan fisik dan mental.

Dalam melewati hari, mereka hidup di sebuah rumah berdinding bambu. Untuk keperluan makan sehari-hari ibunya harus mengasak padi di sawah yang baru saja disiangi. Walaupun demikian perempuan itu tak pernah meratapi hidup dengan kesedihan. Dirinya selalu menterjemahkan segala penderitaan tentu akan memiliki akhir.

Beberapa hari yang lalu dirinya dipanggil oleh Marsudi untuk tanda tangan. Kata Marsudi, orang miskin seperti dirinya akan mendapatkan sepetak tegal. Tegal yang sekarang ditanami morbei oleh perhutani sesungguhnya adalah tanah milik tetua desa pada zaman Belanda. Bukti itu ada di Supiran, untuk mendapatkan hak tegal dirinya bersama beberapa orang harus menandatangani surat perjanjian, begitulah terang Marsudi kepadanya. Ia manut saja, lha wong banyak tetangganya yang ikut juga.

“Poyo pasti dapat menangkap bulan” kata lelaki pendek sambil mengangkat kedua bahunya.

“Kalau makan jangan banyak omong

“Tapi Poyo ingin telur rebus.”

“Sudah, makan saja sambal dan nasinya itu.”

“Poyo mau tangkap bulan!”

“Bulan itu tak bisa ditangkap. Sudah, habiskan nasimu!”

“Biar!” Poyo berdiri kemudian mengambil jaring yang menyelempit di dinding bambu ”Pokoknya Poyo mau tangkap bulan.”

“Poyo, kembali!”

Lelaki pendek itu tak menghiraukan perkataan ibunya. Perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang nasi Poyo di alumunium yang tak disentuhnya sama sekali. Apabila anaknya berlaku seperti itu ia tak bisa melarangnya. Ia tahu benar bahwa tak lama lagi anaknya akan kembali dengan wajah yang murung kemudian menyusul tidur disampingnya.

***

SAMBIL mengayunkan jaringnya ke atas, lelaki itu berlari mengejar bulan. Bayangan tubuhnya yang tergambar di bingkai tanah selalu menemani dirinya berlari. Semakin cepat ia berlari, maka semakin cepat pula bulan menghindar dari pandangannya. Kemudian dengan nafas terengah-engah akan menyumpahi bulan di atas sana.

“Dengarkan aku,” kata lelaki itu sambil terus menatap bulan “aku pasti bisa menangkapmu suatu saat.”

Lelaki itu meloncat dari batu berjalan menuju rumah Pak Haji Rahman. Dirinya suka menatap wajah Diyanti, putri pak haji, dari balik pohon jambu karena wajahnya memendar di kegelapan bagai rembulan sebentuk belahan semangka. Apalagi ketika ia melihat Diyanti memakai kerudung ketika pulang ngaji.

Malam ini ia harus membiarkan bulannya tetap mengapung jauh di langit kelam. Setelah menyelempitkan jaringnya di dinding bambu, ia perhatikan ibunya yang tengah tertidur di balai bambu. Di sampingnya ada sebuah meja dengan ublik yang menyala redup karena minyak tanahnya hampir kering. Ia menyusul tidur di samping ibunya.

***

SIANG itu Poyo bersama ibunya menyusuri tegal yang telah diterimanya dari Tim Sukses. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sudikun, anggota Tim Sukses, menjelaskan kepadanya bahwa tegal itu sudah menjadi hak milik warga desa. Uang yang telah dikumpulkan dalam buntalan kain yang tersimpan di bawah bantal itu kini telah menjadi batang-batang jagung yang tumbuh di tegal miliknya.

Perempuan itu tersenyum melihat usia jagung yang telah lewat satu bulan. Ia melihat tunas-tunas daun hijau tumbuh di batangnya. Dua bulan kedepan ia pasti sudah dapat memetik jagung yang tumbuh di tanah tegal miliknya.

Perempuan itu juga masih ingat kata-kata Marsudi ketika ia menandatangani surat perjanjian sambil menyerahkan beberapa puluh rupiah, yang kata mereka untuk administrasi, bahwa apapun nanti yang akan terjadi dirinya harus tetap menanam di tegal, walaupun perhutani melarangnya. Tegal ini sudah menjadi milik warga dan untuk urusan sertifikat masih dalam proses pengadilan, tambah lelaki yang menjadi ketua Tim Sukses.

Ketika ia menatap tanah seluas puluhan hektar, ia teringat kembali penjelasan Tim Sukses bahwa dirinya bersama warga lain akan mendapatkan lagi jumlah yang lebih banyak dari sekarang. Asalkan warga mau mendukung kegiatannya, maka tak lama tegal itu akan menjadi milik mereka.

Dirinya sangat bersyukur bahwa Allah telah memberikan rejeki yang cukup baginya. Kebahagiaan ini telah menambah keyakinannya bahwa Allah menyayangi hambanya yang sabar dan berusaha. Allah akan memberikan rejeki pada saat yang tak pernah diduga.

Ia tak mempersoalkan seperti sebagian warga yang benci perhutani. Asal dia bisa menggarap tegal, baginya sudah lebih dari cukup, tak perlulah memusuhi perhutani yang kata sebagian warga adalah pemeras rakyat.

Semalam, Marsudi datang kembali ke rumahnya dan ke beberapa tetangga menjelaskan bahwa sertifikat tegal belum bisa jadi. Tim Sukses harus segera ke pengadilan pusat untuk mengalahkan pihak perhutani yang tak mau melepas tegal.

Perempuan itu sudah tahu bahwa dirinya harus menyerahkan uang lagi untuk urusan pengadilan. Kali ini Marsudi meminta sejumlah seratus limapuluh per orang, ia tak punya uang sebanyak itu. Namun, Marsudi adalah orang baik dalam pikirannya karena kekurangan itu dapat dicicil di kemudian hari.

Seorang tetangga di tegal lari ke arahnya dengan tergesa-gesa.

“Kita harus mbantu Tim Sukses demo di pengadilan.”

“Sekarang?”

Dengan sepasang kaki telanjang perempuan itu mengajak anaknya untuk segera pulang, karena dirinya harus ikut tetangga untuk ke pengadilan.

***

POYO menatap jagung yang dulu ditanamnya, kini telah dilindas-tuntas oleh sebuah mesin besi. Rata dengan tanah. Warga desa yang pernah menanam di tegal menatap haru tanaman mereka. Kebencian, kemarahan, bingung, ketakberdayaan, dan kepasrahan tampak di wajah petani-petani desa yang kini menundukkan kepala menatap tanah. Beberapa puluh polisi berada di sana, juga seseorang pemuda yang mengarahkan sebuah kamera. Anak-anak tersenyum sambil bergaya, seolah mereka akan masuk tv. Seorang polisi tengah berbicara di depan mereka.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu apa yang telah kalian lakukan itu adalah melanggar hukum. Tegal ini adalah milik pemerintah. Sebenarnya pemerintah bersama masyarakat menggarap tegal ini dalam program PHBN. Penggarapan Hutan Bersama Negara. Masyarakat punya hak garap bukan hak jual seperti yang telah dijanjikan oleh Tim Sukses. Apalagi mau menandatangani pernyataan kalau saudara-saudara telah menggarap tegal ini selama 40 tahun. Itu namanya penipuan. Seharusnya bapak dan ibu menolak memberikan dana Tim Sukses untuk menuntut perhutani di pengadilan. Itu pelanggaran kepada negara dan hukumannya berat. Perhutani akan mengganti tanaman yang kini dibabat. Pada saatnya nanti saudara-saudara sekalian juga akan diberi hak garap tegal sesuai dengan jatah masing-masing.”

***

BULAN sebentuk perahu masih mengapung di langit malam. Bagaimana dirinya yang kecil ini bisa terbang, memetiknya, dan memasukkan ke dalam jaring. Poyo berfikir sambil memandangi bulan di atas batu besar. Kepalanya bergerak melukis wajah bulan. Ia teringat perkataan ibunya sebelum dirinya meninggalkan rumah.

“Kamu tak usah sedih seperti itu, kita musti bersyukur apa yang diberikan Allah untuk kita. Mulai minggu depan kita bisa menanam lagi di tegal. Tadi pak RT ngasih kartu garap kepada emak.”

Laki-laki itu mengangkat jaringnya dan mengarahkan ke wajah bulan, seolah-olah bulan itu benar-benar masuk ke dalam jaringnya. Ia melonjak-lonjak di atas batu dan berteriak kegirangan.

“Aku berhasil, aku berhasil. Sudah aku katakan aku pasti bisa menangkapmu.”

Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang bulan yang baru saja masuk ke dalam jaringnya. Namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya. Wajahnya kembali muram, dan ia duduk lagi di atas batu besar sambil memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan.

Tidak ada komentar: