Jumat, 26 September 2008

LILIN YANG TAK PERNAH PADAM

ADA sebuah lilin di hidupku.

Jauh di dasar hati, di antara reruntuhan puing-puing bangunan peristiwa masa lalu, masih tersisa beberapa gerat-gerat perasaan yang masih jelas kurasakan. Aku tak berani menyisir kembali reruntuhan kenangan itu, karena gerat –gerat itu mampu menimbulkan getaran yang dahsyat di dasar hati.

Kehidupan adalah sebuah lilin besar. Sumbunya adalah waktu yang menghubungkan masa lalu dengan hari ini. Parafin yang membungkus sumbu itu adalah hidup kita. Semakin banyak waktu yang berlalu, maka semakin tipis api waktu akan memakan hidup kita.

Ada sebuah lilin di hatiku

Lilin itu dinyalakan oleh seorang laki-laki. Laki-laki yang telah jauh sekali ku kenal. Waktu telah mengantarkan diriku untuk tidak lagi melihat laki-laki itu. Nyala api yang pernah disulutnya hingga kini tak pernah padam. Sekalipun, badai hatiku tak mampu meniup nyala itu, hujan batinku tak mampu memadamkan cahayanya. Hingga detik ini lilin itu tetap berdiri di hatiku dengan nyala kecil di atas sumbunya.

“Simpanlah lilin ini dihatimu,” begitulah kata laki-laki yang memberikan lilin waktu itu sambil menggenggamkan sebuah lilin di tanganku.

Aku tahu maksud laki-laki yang memberikan lilin adalah agar aku menerima cintanya, namun ia pasti sudah mempertimbangkan kemungkinan lain yang akan terjadi. Kemungkinan lain itulah yang telah menjadi kenyataan baginya. Aku tak bisa menerimanya karena kala itu aku masih terlalu muda untuk membagi perasaan dengan seorang laki-laki. Akupun patuh dengan kata-kata ayahku yang melarang keras diriku untuk pacaran karena masih duduk di bangku SMP.

Ketika aku hendak mengembalikan lilin yang diberikannya waktu itu, ia menolaknya.

“Jika kau tak bisa menyimpan lilin itu dihatimu, biarkanlah lacimu yang menyimpannya.” Kata laki-laki yang memberiku lilin.

Anehnya aku tak bisa menolak menyimpan lilin itu. Apalah arti sebuah lilin, begitu pikirku kala itu. Mungkin juga karena alasan lain : aku tak ingin menyinggung perasaannya yang kedua kali., maka aku simpan saja lilin itu di laci kamar.

Penolakan waktu itu ternyata tak pernah membuat jarak kami makin jauh. Justru kami makin dekat. Kami makin sering bertemu. Saling bercanda, layaknya kami adalah sepasang kekasih yang sedang dilanda sebuah badai asmara. Dahsyat.

Suatu ketika lonceng berbunyi tiga kali, mendandakan sekolah telah usai. Pulang adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua teman-temanku, termasuk diriku. Bersama tiga sahabat dekatku, kami keluar kelas bersama-sama. Sungguh terkejut diriku ketika berada di tempat parkir. Aku melihat sepedaku dihias penuh dengan bunga. Teman-temanku saling memandangiku. Semua anak-anak yang berada di parkiran memperhatikanku juga. Dengan marah aku membuang bunga-bunga itu.

Hingga sampai di rumah, aku masih penasaran tentang orang yang melakukan itu pada sepedaku. Aku masih marah, tapi aku sendiri tak tahu siapa yang harus aku marahi.

Esok harinya aku bertemu dengan laki-laki yang memberiku lilin. Ia datang padaku sambil membawa sebua lilin yang sama dengan sebelumnya.

“Bisakah kamu menaruh lilin ini di lacimu?” kata laki-laki yang memberiku lilin.

Anehnya lagi, aku menerima lilin itu dengan tulus tanpa syarat. Laki-laki itupun pergi begitu saja setelah memberikan aku lilin yang sama dengan sebelumnya.

Dan hari ini aku marah lagi seperti hari kemarin karena berbagai macam bunga membungkus sepedaku lagi.

“Kalau berani keluar pengecut!” kataku waktu itu. Semua mata mengarah padaku. Aku tak peduli.Kedua temanku membantuku membersihakn sepedaku dan cepat-cepat pergi dari tempat parkir.

Ada dua buah lilin di laciku.

Siapapun yang menaruh bunga di sepedaku, dan jika aku mendapatinya,maka aku akan mematahkan kedua tangannya dan meremukkan jari-jarinya. Maka setengah jam sebelum pulang aku minta ijin guruku untuk ke belakang. Aku berlari menuju tempat parkir dan mataku tak lihat siapapun di sana. Pandangan kedua mataku jatuh kepada sepedaku yang terletak paling ujung dengan hiasan bunga beraneka warna. Aku membuang lagi bunga-bunga itu.

Keesokan harinya aku sengaja tak membawa sepeda. Hatiku tenang juga karena tidak perlu memikirkan lagi siapa yang memiliki tangan usil menaruh bunga-bunga di sepedaku. Ketika bel istirahat berdering aku menemui laki-laki yang memberiku lilin dan aku menceritakan kejadian itu kepadanya. Laki-laki yang memberiku lilin itu tak banyak bicara. Ceritaku sepertinya diremehkan. Ia memberiku lagi sebuah lilin

“Lilin-lilin di lacimu membutuhkan teman seorang lagi” kata laki-laki yang memberi lilin.

Ada tiga buah lilin di laciku

Malam ini sungguh tenang. Aku bebas dari belajar, mengerjakan tugas, dan merangkum fisika. Kubuka laciku, di sana aku melihat tiga buah lilin yang pernah diberikan oleh laki-laki yang gemar lilin. Lilin-lilin itu diam. Semakin aku mendekatkan jariku, semakin dekat bayangan laki-laki yang memberi lilin. Entah kenapa aku merindukan sedikit bicaranya, sedikit senyumnya. Karena ia laki-laki yang tak suka bicara, tidak suka tertawa, karena ia laki-laki yang memberi lilin.

Malam makin kelam. Lilin-lilin itu tertidur bersamaku di genggaman tangan. Aku bermimpi tentang sesuatu bersama lilin-lilin itu.

Hari minggu adalah hari yang aku tunggu. Seperti malamnya, hari ini aku terlepas dari tugas, terbebas dari suasana kelas. Di hari minggu aku selalu membantu ibu di pasar menunggu kios. Aku tak tahu kemana perginya ibu. Tidak seperti biasanya, ibu pergi lama seperti ini. Biasanya ia hanya duduk-duduk di kios sebelah atau pergi ke tempat bu Toah di seberang sana. Sudah dua jam aku di sini menanti sendiri. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang memberiku lilin

“Bolehkah aku memberikan sebuah lilin lagi untuk teman-teman lilin yang lain di laci?”

Aku mengiyakan saja. Aku terima lagi sebuah lilin yang sama dengan lilin yang sebelumnya. Sepulang dari pasar aku menaruh lagi lilin itu di laci.

Sudah cukup tenang bagiku untuk membawa lagi sepeda. Di saat itulah muncul seorang laki-laki yang suka dengan bunga. Ia memberiku seikat bunga sambil mengatakan cintanya padaku. Ia mengaku yang melilitkan bunga-bunga di sepedaku. Aku hanya marah!

***

“Kenapa kau tolak laki-laki yang memberimu bunga?”

“Aku tak suka dengannya.”

“Kenapa?”

“Aku tak suka.”

“Apa yang kurang dengan laki-laki yang memberi bunga?”

“Tidak ada.”

“Lalu apa alasanmu menolaknya? Bukankah dia ganteng? Cute? Gaul? Roman? Apanya yang kurang?”

“Cinta tak butuh hal-hal semacam itu”

“Apa yang dibutuhkan cintamu? Pengorbanan? Kedewasaan? Atau keterikatan?”

“Tidak ketiga-tiganya.”

“Kau punya laki-laki lain?”

Aku mengangguk.

“Siapa?”

“Laki-laki yang aku sendiri belum tahu.”

“Maksudmu?”

“Aku tak tahu siapa yang aku cinta, tapi aku jatuh cinta dengannya. Aku jatuh untuk yang pertama kalinya. Aku menanggung rindu dendam dengan laki-laki yang aku belum tahu siapa dirinya. Setiap malam aku memikirkannya. Aku selalu menyebut laki-laki yang aku sendiri tak tahu siapa namanya. Aku berharap angin memberitakan ini kepada laki-laki yang aku cintai sedangkan aku sendiri tak pernah tahu siapa diri laki-laki itu”

***

Waktu adalah sumbu. Waktu adalah berlalu.

Entah kenapa tiba-tiba pada suatu malam aku ingin sekali membuka laciku yang berisi lilin-lilin. Aku ingin sekali memandang dan menyentuhnya. Memeluknya. Meletakkan di depan bibirku. Pipiku. Mataku. Dadaku. Dan (hatiku).

Keesokan harinya aku bertemu dengan seorang laki-laki yang meberiku lilin. Ia hanya menyapaku dan tersenyum beku kepadaku. Aku balas senyuman beku itu, namun aku sendiri enggan mengartikan senyumku padanya. Selama pelajaran berlangsung, otakku blank. Aku tak tahu apa yang harus aku perbuat. Hingga bel berbunyi tiga kali, aku masih belum sadar apa yang mesti aku kerjakan.

Ketika aku menuju tempat parkir aku merasa terkejut, karena banyak bunga yang membungkus sepedaku. Aku ingin marah, tapi aku tak punya daya untuk marah, karena seorang laki-laki yang memberiku lilin ada di depanku. Ia membantuku membuang bunga-bunga itu ke tempat sampah. Berkali-kali ia minta maaf, sedang aku tak mengerti apa yang sedang ia perbuat hingga ia minta maaf.

“Akulah yang menaruh bunga di sepedamu selama ini.” Katanya halus dan sopan. Aku makin bingung. Siapa sebenarnya yang menaruh bunga di sepedaku. Laki-laki yang memberi bunga atau diakah, laki-laki yang memberiku lilin? Aku pusing!

Di suatu pagi yang lain.

Laki-laki yang memberiku lilin akhirnya memberiku lilin yang terakhir.

“Bisakah lilin yang satu ini kau taruh di hatimu?” katanya tanpa membawa lilin seperti sebelumnya.

Aku seperti tersihir. Aku terpelincir.Tenggelam di telaga yang dalam. Aku tak bisa muncul ke permukaan. Aku tak bisa mengelak. Tak bisa menolak. Nafasku sesak. Aku jatuh di dasar telaga laki-laki yang memberiku lilin sepanjang nyala sumbu hidupku hingga ke dasar tumpu.

***

Ada sebuah lilin di hatiku.

Keempat lilin yang pernah diberikan laki-laki yang memberi lilin sudah habis kunyalakan semua. Setiap malam menjelang tidur aku selalu menyalakn lilin itu satu demi satu. Malam ke malam. Hingga tiba suatu malam tinggallah sebuah lilin yang terakhir, sedangkan laki-laki yang memberiku lilin belum pernah kudengar kabarnya. Aku menyalakan lilin terakhir dan berharap esok pagi ketika bangun aku mendapatinya.

Semua adalah sia-sia. Aku tak punya lilin lagi untuk dinyalakan tiap malam. Malamku sudah terlalu gelap tanpa lilin-lilin itu. Namun, masih ada sebuah lilin yang masih menyala dan tak pernah bisa padam, yaitu sebuah lilin yang ditaruhnya di hatiku. Suatu malam angin mengabarkan bahwa laki-laki yang memberiku lilin ternyata tidak hanya menaruh lilin di hatiku saja, melainkan di hati perempuan-perempuan lain. Lilin di hatiku hampir padam ketika aku mencoba menguburnya dalam-dalam.

“Ibu…”

Dia adalah anak pertamaku., Andris Setyawan. Sudah tiga tahun yang lalu aku menikah dengan seorang laki-laki yang kukenal di kampusku. Aku mencintainya. Ia juga mencintaiku. Hingga cinta kami telah membuahkan Andris.

Suamiku sangat sayang kepada anakku. Mereka baru saja jalan-jalan di taman. Berlari-lari mengejar Eno, nama kucing kami.. Tiba-tiba hp di meja berdering. Sebuah nomor baru muncul.

“Masihkah lilin itu menyala di hatimu? (Andris Setyawan)”

Aku tertegun menatap layar hpku. Laki-laki yang pernah memberiku lilin mencoba menyulut kembali lilin yang baginya sudah mati. Dengan segera aku menghapus sms tersebut. Aku menghapiri suamiku dan anakku. Kami bercanda bersama-sama di atas sofa.

Masih ada sebuah lilin yang menyala di hatiku.

Tidak ada komentar: